BEKASIMEDIA.COM – Istilah “Omnibus Law” akhir-akhir ini mulai menghiasi pemberitaan dan jadi pembicaraan. Salah satu pihak yang membicarakannya adalah kalangan buruh atau pekerja. Omnibus Law sendiri digulirkan Pemerintahan Jokowi di periode keduanya ini.
Menurut penjelasan pihak pemerintah, Omnibus Law akan diberlakukan untuk membuka selebar-lebarnya kran investasi. Lantas, kenapa kalangan buruh menolaknya?
Apa itu Omnibus Law?
Omnibus law adalah suatu Undang-Undang (UU) yang dibuat untuk menyasar satu isu besar yang mungkin dapat mencabut atau mengubah beberapa UU sekaligus sehingga menjadi lebih sederhana. Kata “Omnibus” berasaal dari bahasa Latin yang berarti “untuk semuanya”.
Ketikan Omnibus Law disahkan, maka semua produk hukum lain yang mengatur masalah atau topik yang sama akan otomatis gugur atau tidak berlaku lagi.
Saat ini pemerintah sedang menggodok omnibus law dan akan dibawa ke DPR. Ada 3 hal yang dibahas yaitu soal perpajakan, cipta lapangan kerja, serta usaha kecil, mikro dan menengah (UMKM). Jika regulasi Omnibus Law ini diberlakukan, maka ada sekitar 74 undang-undang yang berkaitan dengan tiga hal diatas sudah tidak berlaku lagi,
“Ada 74 UU sudah kita teliti satu persatu, kita gabungkan dan kita mintakan nanti untuk direvisi secara berbarengan, bersama-sama,” ujar Presiden Jokowi seperti dikutip dari laman Setkab.go.id, Senin (9/12/2019).
Kalangan buruh kompak menolak Omnibus Law. Salah satunya adalah KSPI yang menolak dengan memberikan 6 alasan.
6 ALASAN KSPI MENOLAK OMNIBUS LAW
Berdasarkan pernyataan Menteri Perekonomian dan Menteri Ketenagakerjaan, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mencatat, setidaknya ada 6 (enam) hal mendasar yang disasar omnibus law.
Pertama, Menghilangkan Upah Minimum
Dampak terburuk yang secara langsung dirasakan buruh adalah hilangnya upah minimum. Hal ini, terlihat, dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam. Dengan kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis akan di bawah upah minimum.
Belum lagi ketika pekerja sakit, menjalankan ibadah sesuai kewajiban agamanya, cuti melahirkan; maka upahnya tidak lagi dibayar karena pada saat itu diaggap tidak bekerja.
“Memang, ada pernyataan yang mengatakan jika pekerja yang bekerja 40 jam seminggu akan mendapat upah seperti biasa. Sedangkan yang di bawah itu menggunakan upah per jam,” kata Iqbal.
Namun demikian, menurutnya, hal ini hanya akal-akalan. Sebab dalam praktik, akan sangat mudah bagi pengusaha untuk menurunkan jam kerja, sehingga pekerja tidak lagi bekerja 40 jam.
Lagipula, penerapan yang berbeda seperti ini adalah bentuk diskriminasi terhadap upah minimum. Upah minimum adalah upah minimum; berlaku bagi semua warga negara yang bekerja sebagai jaring pengaman. Tidak ada dua istilah, misalnya upah minimum bulanan dan upah minimum per jam.
Di Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan, tidak boleh ada pekerja yang mendapatkan upah di bawah upah minimum. Jika itu dilakukan, sama saja dengan kejahatan. Pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum bisa dipidana.
“Karena itu, berdasarkan uraian di atas, sangat terlihat jika pemberian upah per jam adalah mekanisme untuk menghilangkan upah minimum. Karena ke depan akan banyak perusahaan yang mempekerjakan buruhnya hanya beberapa jam dalam sehari,” tegasnya.
Kedua, Menghilangkan Pesangon
Menko Perekonomian menggunakan istilah baru dalam omnibus law, yakni tunjangan PHK yang besarnya mencapai 6 bulan upah.
Terkait hal ini, Said Iqbal mengatakan, bahwa di dalam UU No 13 Tahun 2003; sudah diatur mengenai pemberian pesangon bagi buruh yang ter-PHK. Besarnya pesangon adalah maksimal 9 bulan, dan bisa dikalikan 2 untuk jenis PHK tertentu, sehingga bisa mendapatkan 18 bulan upah. Selain itu, mendapatkan penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah, dan penggantian hak minimal 15% dari toal pesangon dan/atau penghargaan masa kerja.
“Dengan kata lain, pesangon yang sudah diatur dengan baik di dalam UU 13/2003 justru akan dihilangkan dan digantikan dengan istilah baru, tunjangan PHK yang hanya 6 bulan upah. Padahal sebelumnya, buruh berhak mendapatkan hingga 38 bulan upah lebih,” ujarnya.
Ketiga, Fleksibilitas Pasar Kerja/Penggunaan Outsourcing dan Buruh Kontrak Diperluas
Dalam omnibus law, dikenalkan istilah fleksibilitas pasar kerja.
“Kita menafsirkan, istilah fleksibilitas pasar kerja adalah tidak adanya kepastian kerja dan pengangkatan karyawan tetap (PKWTT). Dalam hal ini, outsourcing dibebaskan di semua lini produksi,” kata pria yang juga menjadi Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) itu.
“Jika di UU 13/2003 outsourcing hanya dibatasi pada 5 jenis pekerjaan, nampaknya ke depan semua jenis pekerjaan bisa dioutsoursing-kan. Jika ini terjadi, masa depan buruh tidak jelas. Sudahlah hubungan kerjanya fleksibel yang artinya sangat mudah di PHK, tidak ada lagi upah minimum, dan pesangon dihapuskan.”
Keempat, Lapangan Pekerjaan yang Tersedia Berpotensi Diisi Tenaga Kerja Asing (TKA) Unskill
Terkait TKA, dalam UU 13/2003, penggunaan TKA harus memenuhi beberapa persyaratan. Antara lain, TKA hanya boleh untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tertentu. TKA yang tidak memiliki keterampilan khusus (unskill workers) tidak diperbolehkan bekerja di Indonesia. Jenis pekerjaannya pun adalah pekerjaan tertentu yang membutuhkan keahlain khusus yang belum banyak dimiliki pekerja lokal, seperti akuntansi internasinoal, maintenance untuk mesin teknologi tinggi, dan ahli hukum internasional.
Selain itu, waktunya dibatasi. Dalam waktu tertentu, misalnya 3 – 5 tahun, dia harus kembali ke negaranya. Hal yang lain, setiap TKA harus didampingi oleh pekerja lokal. Tujuannya adalah, supaya terjadi transfer of job, dan transfer of knowledge, sehingga pada satu saat nanti pekerja Indonesia bisa mengerjakan pekerjaan si TKA tadi.
Namun sayangnya, kata Iqbal, dalam omnibus law ada wacana, semua persyaratan tadi dihapus. Sehingga TKA bisa bebas sebebas-bebasnya bekerja di Indonesia. Hal ini, tentu saja akan mengancam ketersediaan lapangan kerja untuk orang Indonesia. Karena pekerjaan yang mustinya bisa diempati oleh orang lokal diisi oleh TKA.
Kelima, Jaminan Sosial Terancam Hilang
“Dengan skema sebagaimana tersebut di atas, jaminan sosial pun terancam hilang. Khususnya jaminan hari tua dan jaminan pensiun,” demikian Iqbal menjelaskan.
Menurutnya, hal ini akibat dari adanya sistem kerja yang fleksibel tadi. Sebagaimana kita pahami, agar bisa mendapat jaminan pensiun dan jaminan hari tua, maka harus ada kepastian pekerjaan.
“Bagaimana mau mendapatkan jaminan pensiun, jika pekerja setiap tahun berpindah pekerjaaan dan hanya mendapatkan upah selama beberapa jam saja dalam sehari yang besarnya di bawah upah minimum?”
Keenam, Menghilangkan Sanksi Pidana Bagi Pengusaha
Dalam omnisbu law, juga ada wacana untuk menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha. Sebagaimana kita ketahui, UU 13/2003 memberikan sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak membayar hak-hak buruh.
Sebagai contoh, pengusaha yang membayar upah upah di bawah upah minimum, bisa dipenjara selama 1 hingga 4 tahun. Jika sanksi pidana ini dihilangkan, bisa jadi pengusaha akan seenaknya membayar upah buruh lebih rendah dari upah minimum.
“Dampaknya, akan banyak hak buruh yang tidak berikan pengusaha. Karena tidam ada efek jera,” ujar Iqbal..
“Mencermati wacana omnibus law, tidak sulit bagi kita untuk menyimpulkan bahwa ini adalah bagian untuk menghilangkan kesejahteraan para pekerja. Oleh karena itu, ini bukan hanya permasalah pekerja. Tetapi juga permasalahan seluruh rakyat Indonesia,” pungkasnya. (eas)