BEKASIMEDIA.COM

Menu

Mode Gelap
Soal Kisruh Data PKH Ini Penjelasan, Anggota DPRD Enie Widhiastuti Ketua Fraksi PKS Kota Bekasi Terkait TKK Minta Pemkot Lakukan Langkah Ini Bawaslu Kota Bekasi Ingatkan di Masa Sosialisasi Para Caleg dan Partai Pahami Aturan yang Berlaku Islamic Book Fair 2023: Memperkenalkan Buku sebagai Pilar Peradaban Dishub Kota Bekasi Batasi Operasional Kendaraan Besar, Khusus Kendaraan Sumbu Tiga Keatas

Berita Terbaru · 26 Sep 2019 WIB ·

Giga Indonesia Tetap Menolak Pengesahan UU P-KS. Ini Alasan Lengkapnya


 Giga Indonesia Tetap Menolak Pengesahan UU P-KS. Ini Alasan Lengkapnya Perbesar

BEKASIMEDIA.COM – Masa-masa genting di DPR Periode 2014-2019 tidak hanya berkutat pada masalah pelemahan KPK dan pro kontra RKUHP saja, tetapi juga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Berbagai komponen masyarakat telah lama menyuarakan penolakan atas RUU yang dinilai ditumpangi kepentingan kalangan LGBT ini.

MUI, ormas-ormas keagamaan hingga pegiat keluarga menolak karena isi RUU ini dinilai bertentangan dengan norma agama.

Salah satunya Pegiat Keluarga (GIGA) Indonesia yang mencoba membuat petisi online dengan keterangan sebagai berikut:

TOLAK RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

ATAU UBAH jadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual

1. Tidak komprehensif karena tidak memuat sekaligus pengaturan norma perilaku seksual. Masyarakat memandang penting pengaturan perilaku seksual bukan hanya pada penghapusan kekerasannya, namun juga meliputi normanya yaitu larangan kejahatan seksual (perilaku seks menyimpang seperti zina, pelacuran, homo dan biseksual)

Dlm RUU P-KS, yang diatur adalah larangan pemaksaanya (pelacuran, aborsi), mengabaikan pelacuran sebagai penyimpangan perilaku seks-nya. demikian juga tidak memasukkan perilaku seks menyimpang lainnya.

Naskah akademik RUU sama sekali tidak mengakomodir kekerasan seksual terhadap laki-laki yang semakin marak dan menakutkan, yang sebagian besar terkait dengan kejahatan seks menyimpang LGBT, oleh karenanya tidak bisa dipisahkan antara pengaturan teknis perilaku seksual (kekerasanya) dengan normanya (larangan perilaku seks menyimpang).

Sehingga dipandang penting mengubah RUU ini dari Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi Penghapusan kejahatan seksual.

RUU ini tidak memenuhi aspirasi masyarakat Indonesia, diduga karena pihak perumus NA dan draft RUU merupakan pihak yang tidak setuju adanya larangan zina dan LGBT dalam KUHP.

2. Menegasikan institusi keluarga (rumah tangga). NA dan RUU ini tidak memberi perhatian dan mengakomodir institusi keluarga di Indonesia yang hidup dengan nilai-nlai konvensional, menjadikan agama (khususnya agama Islam yang dianut mayoritas keluarga Indonesia) sebagai landasan kehidupan. Agama yang dianut keluarga dan masyarakat Indonesia sangat mencela perilaku seks menyimpang.

Secara sosiologis, keluarga di Indonesia menganut paradigma sistem dan struktural fungsional, yaitu pengakuan keluarga sebagai satu kesatuan sistem dimana ada struktur yang satu sama lain memiliki fungsi saling melengkapi dan menguatkan, Struktur keluarga (suami-istri; orangtua-anak) dan konsekuensi fungsinya, termasuk pengakuan dan keyakinan bahwa laki-laki sebagai suami menjadi kepala keluarga (UU Perkawinan).

Keluarga Indonesia tidak menganut paradigma konflik sosial yang menjadi landasan teori feminis dan gender (relasi, identitas, ekspresi gender) yang menjadi dasar pengembangan atau perumusan RUU PKS ini.

3. Naskah akademik RUU tidak menjadikan UU no 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sebagai acuan dalam mengelaborasi landasan yuridisnya.

Padahal UU perkawinan menjadi dasar pembentukan keluarga Indonesia yang didalamnya mengatur hubungan suami-istri, termasuk pasal yang menyatakan laki-laki sebagai kepala keluarga.

RUU PKS dikembangkan dengan paradigma feminis dan gender equality yang memandang sistem patriarki (salah satunya ditunjukan bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga) merupakan penghambat perempuan maju, menjadi sumber dskriminasi perempuan, sehingga harus diubah dan dihapuskan.

Sehingga RUU ini menjadikan otonomi penuh yang sama laki-laki dan perempuan (dinyatakan dengan frasa Persetujuan yang bebas dari ketimpangan relasi kuasa dan gender) , sebagai definisi kekerasan.

4. RUU ini dikembangkan sama sekali tanpa kajian bagaimana dan apa dampak implementasi aturan terhadap institusi perkawinan dan keluarga.

Jika ketiadaan persetujuan dijadikan syarat perilaku seksual itu dikategorikan sebagai pemaksaan dan kekerasan, bagaimana implementasi dan dampaknya dalam perilaku seksual suami-istri dalam keluarga ?

Mengapa sama sekali tidak mengangkat hasil2 kajian yang berlimpah mengenai marital quality (conflict, satisfaction, happiness) dan dampaknya terhadap perceraian ?.

Tidak hawatirkah bahwa RUU ini membuka ruang / kesempatan terjadinya marital disharmony, perselingkuhan, dan perceraian.. Saat ini kita justru sedang prihatin karena angka perceraian semakin meningkat, 1000 perceraian per hari, dan 40 perceraian per jam. 70% perceraian diajukan perempuan (istri).

5. RUU ini hanya mengedepankan HAK, tanpa menyeimbangkannya dengan kewajiban. Hak setiap individu untuk terbebas dari kekerasan hendaknya diseimbangkan dengan kewajiban untuk memastikan hak nya terpenuhi.

Apalagi jika implementasi hubungan seks antara suami istri dalam ikatan perkawinan, maka penekanan hak saja, akan berpotensi munculnya konflik perkawinan.

6. Definisi kekerasan sangat luas dari pelecehan sampai pemaksaan dan penyiksaan, berpoten si multi tafsir, dan dampak implementasinya dalam kehidupan, khususnya dalam hubungan suami-istri.

Pelecehan pun baik yg fisik (mencolek dll) maupun non fisik (kedipan mata. Isyarat.dll). Jika itu diterapkan dlm hubungan laki-laki dan perempuan sebagai suami istri, maka akan berpotensi menimbulkan masalah.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka RUU ini harus diubah menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual, atau dibatalkan.

7. Komponen pencegahan dalam RUU ini sangat sedikit dan tidak mengelaborasi faktor kekerasan dan penyimpangan seksual yang harus dicegah dan diantisipasi. lagi-lagi, tidak menjadikan keluarga sebagai bagian penting.

Link petisi klik disini

(ss)

Artikel ini telah dibaca 0 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Akan Digelar Di Taman Kota, Ketua Umum Qur’anic Relationship Ajak Pemuda Bekasi Mengaji

28 Maret 2024 - 23:54 WIB

Rian Nopandra kembali pimpin ketua PWI Banten periode 2024-2029

28 Maret 2024 - 08:52 WIB

Kecewa atas Pelaksanaan Pemilu 2024 yang Tidak Transparan DPRD Akan Panggil Ketua KPU dan Bawaslu

26 Maret 2024 - 17:54 WIB

Anis Byarwati Tegaskan Kerjasama Dengan Dewan Kota Jakarta Untuk Kemaslahatan Masyarakat

25 Maret 2024 - 15:54 WIB

Sodikin: Pemkot Bekasi Harus Berani Beli Lahan Untuk Pembangunan Gedung Sekolah Di Jatirahayu

24 Maret 2024 - 18:09 WIB

Pengamat Politik Unsoed Prediksi Partai Koalisi Pilpres yang Berseberangan Potensi Berkoalisi di Pilbup Banyumas

22 Maret 2024 - 05:37 WIB

Trending di Berita Terbaru