Oleh: Triana Arinda Harlis (Aktivis Dakwah Bekasi)
Anggota legislatif DPR RI drh. Slamet asal Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), melakukan kegiatan Sosialisasi 4 Pilar membangun ketahanan nasional bersama ratusan pelajar se-Kabupaten Sukabumi Selasa, (15/1/2019).
Drh. Slamet menyampaikan bahwa generasi penerus harus memahami dan menjaga Pancasila, UUD Republik Indonesia 1945, NKRI dan keberagamaan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Menurutnya kelompok-kelompok tertentu yang ingin mengubah 4 pilar tersebut, berarti yang bersangkutan telah berbuat makar (source: bekasimedia.com).
Pernyataan drh. Slamet ini perlu dikaji ulang. Hal ini mengingat perubahan Pancasila dan UUD 1945 pernah terjadi di Indonesia. Tercatat dan diajarkan di kurikulum sekolah-sekolah generasi milenial. Pancasila yang kita kenal saat ini merupakan kesepakatan dari diskusi panjang sejak Pancasila dikenalkan oleh Ir. Soekarno. Pancasila versi Ir. Soekarno sendiri telah mendapatkan berbagai masukan baik urutan silanya maupun bunyi tiap-tiap sila. Hal ini diutarakan oleh Hamka Haq dalam bukunya Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam.
Bagitu pula dengan UUD 1945. UUD 1945 pernah berubah menjadi UUD Serikat 1950. Selain itu UUD 1945 pun sudah mengalami amandemen sebanyak 4 kali pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.
Tentu kita tidak serta merta menuduh pelaku-pelaku perubahan itu sebagai aktor makar. Jelas karena makna makar itu sendiri adalah serangan.
Arsil, Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) menjelaskan makar itu sebenarnya menggantikan “anslaag” yang lebih tepat diartikan sebagai serangan.
Terlebih lagi, makar di dalam KBBI itu ada tiga arti. Satu artinya tipu muslihat. Kedua, dengan maksud membunuh atau menyerang. Ketiga, menggulingkan pemerintah. Oleh karena itu, akan lebih baik apabila drh. Slamet sebagai tokoh masyarakat berhati-hati dalam memaknai kata makar yang disematkan kepada pihak yang ingin mengubah Pancasila dan UUD 1945.
Selanjutnya, drh. Slamet memaparkan bahwa ummat Islam punya saham besar terhadap berdirinya bangsa ini. Para pendiri bangsa dari kalangan Islam merelakan penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta.
Menanggapi hal tersebut, patut kiranya kita menelaah wejangan dari Prof. Salim Haji Said. Beliau mengatakan kita wajib menyadari bahwa Indonesia adalah bangsa yang masih muda. Sejarah Indonesia adalah sejarah pergantian sistem, bahkan pergantian konstitusi. Kita sedang mencari sitem untuk sesuai dengan budaya dan karakteristik kita. Sangat mungkin sistem yang berlaku sekarang ini akan kita ubah. Itu mungkin. Kita sedang dalam situasi proses revolusi budaya dan peradaban dalam rangka mencari jati diri kita.
Hubungan Islam dan negara sendiri telah menjadi persoalan mendasar sejak tahun 1930. Apabila kita tidak berhati-hati menyikapi syariat Islam maka akan menghabiskan energi dalam berkonflik. Maka yang terbaik justru memberikan ruang diskusi. Bukan untuk mencari pemenang tapi mencari jalan keluar.
Inilah yang sangat dibutuhkan generasi milenial yang konon adalah generasi masa depan. Generasi langgas yang lincah. Upaya membangun generasi melek politik adalah mencetak pemuda-pemuda yang siap mencari jalan keluar dari semua persoalan pelik yang dihadapi oleh Indonesia. Bukan untuk mencetak pemuda yang mempertahankan stagnasi keadaan, yang sayangnya keadaan yang memprihatinkan bagi rakyat.