Oleh: Irfan Fauzi
Departemen Bidang Dakwah ICMI Orda Bekasi
Pada sebuah gerbang pesantren yang terletak di pinggiran Bekasi, yang juga sedang menunggu gusuran tol, beberapa santri keluar dan membeli jajanan ringan, mulai dari gorengan, mie bihun, hingga segala jenis minuman dingin. Beberapa dari mereka, menggunakan kaos, bersarung, dan baju koko disampirkan dipundaknya. Tidak lupa peci beludru hitam disangkutkan dikepalanya. Ada juga yang mengenakan gamis panjang berbahan lembut, dan tak lupa peci yang terpasang dikepalanya.
Pemandangan tersebut sangat lazim di kalangan pesantren. Namun, jika kita mengamati lebih detail, ada kemiripan busana antara santri dan para pejabat negara. Bukan gamis atau sarung.Persamaannya adalah Peci.
Semua presiden dan wakil presiden Indonesia, sebagaimana kita lihat pada foto di dinding kantor/kelas, mereka mengenakan peci. Kecuali Ibu Megawati. Peci menjadi identitas yang nyaris tidak terpisahkan dari wajah kebangsaan kita. Peci dan Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Tak heran, jika siapapun orangnya, apapun agamanya, saat dia menggunakan peci beludru hitam, rasanya lebih ‘merakyat’ dan ‘islami’. Kita pernah saksikan, bagaimana Ahok (Mantan Gubernur DKI) menggunakan peci, kita juga pernah mengamati Hary Tanoe yang mengenakan peci saat mengunjungi pesantren di Jawa Timur. Keduanya bukan islam, tapi berpeci.
Sejarah Peci
Peci memiliki padanan kata yang beragam di setiap daerah bahkan negara. Bangsa melayu, mengenalnya dengan sebutan peci, songkok, atau kopeah. Sedangkan di Turki, terdapat topi Fez, tutup kepala kaum nasionalis Turki, yang biasa dikenal dengan fezzi. Belanda menyebutnya dengan Petje atau kepi dalam bahasa Perancis. Tentara dan polisi baik di Malaysia maupun Brunei mengenakan peci saat upacara-upacara tertentu.
Ada literatur yang mengatakan peci berawal dari dakwah Sunan Kalijaga. Sebagian literatur menyebutkan peci berasal dari laksamana Cheng Ho. Namun, dalam the origin of Songkok, Rozan Yunos mengemukakan bahwa peci/songkok diperkenalkan oleh pedagang Arab yang menyebarkan agama Islam di Indonesia sejak abad ke – 13.
Terlepas dari itu semua, peci sebagai identitias dipopulerkan oleh Presiden Sukarno. Sebagaimana yang dituliskan oleh Cindy Adams, dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Sukarno menyebut peci sebagai cirikhasnya, bukti nasionalisme yang baru. Kombinasi antara peci, jas, dan dasi menunjukkan kesetaraan antara bangsa Indonesia (terjajah) dan Belanda (Penjajah). Dalam rapat Jong Java, pada 1921 silam, Sukarno mengatakan, “Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka.”
Peci sebagai identitas
Masyarakat Jawa dulu, menjadikan penutup kepala maupun peci sebagai penanda strata sosial. Rasanya, bak tak berbusana jika tidak memakai penutup kepala. Jean Gelman Taylor mengisahkan, bagaimana pemerintah kolonial berusaha mempengaruhi gaya berpakaian masyarakat Jawa pada abad 19 kala itu. Yang menarik, apapun busananya, peci maupun ikat kepala menjadi kesatuan yang tak pernah lepas. Laiknya adab yang malu jika harus hilang dari seorang manusia.
Sebelum Sukarno, pada 1913, Ki Hajar Dewantara juga mengenakan topi fez Turki yang saat itu menghadiri rapat SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij) di Den Haag bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo yang mengenakan kopiah beludru hitam. Ketiganya merupakan politisicum intelektual dengan segala identitasnya masing-masing.
Kini, peci nyaris digunakan oleh sebagian besar umat islam. Bahkan selain islam sekalipun. dengan berbagai versinya. Baik dalam pelaksanaan ibadah ritual, upacara kenegaraan maupun dalam kehidupan sehari-hari laiknya kaum santri. Peci menjadi lebih dari sekedar penutup kepala. Kini, peci tetap digunakan oleh siapapun dan kalangan manapun. Peci pada akhirnya menjadi simbol keteladanan dan keberadaban. Berpeci berarti menjunjung tinggi adab, keteladanan, dan intelektualitas.
Gambar oleh pixabay