BEKASIMEDIA.COM – Di akun media sosialnya, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil membuat “surat cinta” untuk menjelaskan sikapnya mengeluarkan surat edaran dan bukan surat keputusan mengenai penetapan UMK 2020 di Jawa Barat. Surat Ridwan Kamil mendapat tanggapan dari Wakil Ketua KSPI yang juga anggota DPR RI, Obon Tabroni.
Menurut Obon, yang dibutuhkan buruh bukan surat cinta, tapi tindakan nyata untuk memastikan agar kaum buruh sejahtera.
Sebagai wakil rakyat, Obon mengingatkan, bahwa kewajiban seorang pemimpin adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Bukan hanya keadilan bagi sekelompok elit, semisal pengusaha dan penguasa.
“Kerena itu, ketika membaca surat cinta Ridwan Kamil kepada buruh yang di awal kalimatnya menyebut soal keadilan; itu bukan saja menyakiti hati kaum buruh. Tetapi juga mempertontonkan ketidakadilan itu sendiri,” kata Obon.
Hal ini, karena, kebijakan Gubernur Jawa Barat lebih mementingkan pengusaha. Tetapi mengabaikan kepentingan pekerja yang juga memiliki hak untuk bisa hidup layak. Karena akan ada perusahaan yang sebenarnya mampu membayar UMK, karena adanya surat edaran tersebut akhirnya tidak menaikkan upah buruhnya.
Gubernur mengatakan, jika UMK ditetapkan melalui SK Gubernur, banyak industri padat karya yang tidak sanggup, kolaps. Bukan hanya itu, industri akan kena pasal pidana. Dalam hal ini, Obon menilai pernyataan Gubernur mengada-ada.
“Sampai saat ini mana ada pengusaha di Jawa Barat yang dipenjara gara-gara tidak membayar sesuai UMK?” Tegas Obon.
Dia mencontohkan, PT Dada Indonesia, salah satu perusahaan padat karya di Purwakarta, Jawa Barat. Perusahaan tersebut tutup bukan karena membayar upah buruh yang tinggi.
“Sebelum tutup, perusahaan ini membayar upah di bawah upah minimum. Pun ada kebijakan upah padat karya yang nilainya di bawah UMK. Jadi upahnya sangat rendah. Tetapi toh tutup juga,” kata Obon.
Itu artinya, lanjut Obon, bukan upah yang membuat perusahaan tutup. Buktinya PT Dada, dan banyak perusahaan yang lain, tetap tutup meskipun upahnya jauh di bawah UMK.
Apa yang membuat perusahaan tutup? Ada banyak faktor, tetapi yang utama adalah korupsi dan kebijakan pemerintah yang tidak tepat sasaran. Di sektor tekstil, misalnya, banyak perusahaan yang tutup akibat kran impor dibuka lebar.
“Hal yang lain adalah upeti yang harus dibayarkan pengusaha kepada oknum tertentu. Pengusaha dijadikan mesin ATM ketika mengurus perizinan atau dalih uang keamanan,” tegasnya.
“Jangan karena ketidakmampuan Gubernur menertibkan pungutan liar yang mengakibatkan cost tinggi bagi dunia industri, buruh yang dikorbankan,” pungkas Obon. (*)