BEKASIMEDIA.COM – Minat masyarakat muslim Indonesia untuk beribadah umrah semakin meningkat. Disisi lain, program penyelenggaraan pelayanan kesehatan umrah saat ini belum ada, baik di pusat maupun daerah. Secara umum, penyelenggaraan pelayanan umrah telah diatur dalam Peraturan Menteri Agama No. 18 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU). Salah satu kebijakan yang diatur antara lain PPIU wajib memberikan pelayanan bimbingan ibadah umrah, transportasi jamaah umrah, akomodasi dan konsumsi, kesehatan jamaah umrah, perlindungan jamaah umrah dan petugas umrah, serta administrasi dan akomodasi jamaah.
Hal ini disampaikan oleh peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Humaniora dan Manajemen Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, DR. Rustika, SKM, M.Sc di Hotel Acacia Jakarta, Senin (20/11/17).
Selanjutnya, papar Rustika, pelayanan kesehatan yang dimaksud meliputi penyediaan petugas kesehatan, penyediaan obat-obatan serta pengurusan jamaah umrah yang sakit selama perjalanan di Arab Saudi. Berdasarkan penelitian tahun tahun 2014 sampai dengan 2016 menunjukkan belum adanya payung hukum yang spesifik mengatur pelayanan kesehatan umrah, yang akan berdampak tidak terlindunginya kesehatan masyarakat termasuk PPIU dalam pelaksanaan pelayanan ibadah umrah.
Untuk itu, lanjut Rustika, diperlukan model pelayanan kesehatan bagi jamaah umrah yang dibangun dari 3 (tiga) aspek yaitu pembinaan kesehatan, pelayanan kesehatan dan perlindungan kesehatan.
“Tahun 2017, model tersebut diimplementasikan dan disosialisasikan di 6 (enam) ibukota provinsi di Indonesia yaitu di Medan, Bandung, Banjarmasin, Pontianak, Mataram dan Makasar. Pemilihan daerah tersebut secara purposive pada provinsi dengan kriteria memiliki jumlah jamaah umrah terbanyak dan PPIU yang kooperatif berdasarkan hasil temuan 2016,” kata Rustika.
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat beberapa faktor pendukung untuk dilaksanakannya model pelayanan kesehatan umrah baik dari aspek peraturan, pengorganisasian dan pemanfaatan sumber daya.
Secara umum dari aspek peraturan, Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 menyatakan: “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
Perlindungan hukum hak atas mendapatkan pelayanan kesehatan dimuat juga dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 4 menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak atas kesehatan”. Selanjutnya manajemen pelayanan kesehatan haji dapat menjadi acuan untuk memperkuat dari aspek pengorganisasian pelayanan kesehatan umrah. Begitu pula sumber daya yang ada dapat mendukung pelaksanaan pelayanan kesehatan umrah adalah pengalaman tenaga kesehatan haji, sarana dan prasarana pelaksanaan pelayanan kesehatan haji di puskesmas dan program Posbindu.
Selain faktor pendukung tersebut, Rustika menjelaskan adanya faktor penghambat pelaksanaan pelayanan kesehatan umrah, antara lain belum adanya regulasi yang spesifik mengatur pelayanan kesehatan umrah, pembiayaan pelayanan kesehatan jamaah umrah dan kasus ICV (international certificate vaccination) palsu.
“Saat ini pelayanan kesehatan umrah masih mengikuti pelayanan kesehatan secara umum. Kesakitan jamaah umrah baru diketahui ketika jamaah melaporkan status kesehatannya sepulang dari Arab Saudi. Selain itu, tidak terdapatnya system surveilans umrah yang dapat digunakan Pemerintah untuk mengetahui status kesehatan jamaah umrah,” jelas Rustika.
“Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan petunjuk teknis pelaksanaan pelayanan kesehatan umrah sehingga perlu ada aturan yang lebih spesifik mengatur kesehatan umrah,” pungkasnya.
Diseminasi ini dihadiri oleh perwakilan dari pemerintah terkait pelayanan umrah yaitu Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Juga dihadiri Asosiasi Haji dan Umrah yang diwakili oleh HIMPUH (Himpunan Muslim Penyelenggara Umrah dan Haji), PERDOKHI (Persatuan Dokter Kesehatan Haji Indonesia) dan AKHI (Asosiasi Kesehatan Haji Indonesia) serta akademisi dari Uhamka Jakarta. (*)