BEKASIMEDIA.COM – Director Program E-learning LSPR, Ari Widodo menyatakan program Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) memiliki sejarah panjang. Ia mengatakan salah satu arsiteknya adalah seorang profesor yang mengembangkan programnya dibangun dari pengalaman beliau di Universitas Terbuka yang kemudian dibuatkan guideline atau garis besarnya.
“E-learning ini nama resminya adalah Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), sebenarnya ini program yang dicanangkan pemerintah jauh sebelum konsep kampus merdeka, saat itu masih di bawah kemenristek Dikti dengan menteri Mohamad Nuh yang mengatakan “Terjadi gap yang sangat luas antara jumlah penduduk Indonesia yang dalam usia produktif dan ingin bisa sekolah di perguruan tinggi dengan mereka yang benar-benar bisa masuk perguruan tinggi,” kata Ari Widodo saat launching program E-learning di lantai 10 Kampus London School Public & Relation, kota Bekasi, Jum’at, (11/9/2020)
Gap ini terjadi karena berbagai hal, karena waktu itu spirit awalnya adalah mencari solusi yang diurai bukan lagi komponen biaya tapi dicarikan apa alternatifnya yang bisa membantu orang Indonesia belajar masuk perguruan tinggi secara formal akan tetapi tidak lagi terkendala dengan hal-hal yang membuat mereka tidak bisa ke perguruan tinggi.
“Ternyata setelah diurai ada banyak hal yang membuat orang Indonesia tidak bisa ke perguruan tinggi, pertama, soal biaya tinggi, kedua, akses, kita yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya termasuk Bekasi mungkin sangat beruntung, naik kereta bisa sampai ke Jakarta begitu juga sebaliknya mereka yang dari Bogor bisa ke Jakarta naik kereta,” ujarnya.
Tapi untuk mereka yang berasal dari daerah dan sulit mengakses kampus, juga berbagai alasan lain yang menjadi penghalang kuliah offline, program ini dicanangkan dengan tujuan mulia. Salah satu arsiteknya adalah Prof. Paulina Pannen kemudian lahir konsep yang kita sebut Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
“Program ini punya sejarah panjang dan bukan program bim salabim, ini adalah program yang dibangun dari pengalaman beliau di Universitas Terbuka, dengan melihat pembelajaran yang dilakukan dan bekerjasama dalam konteks Asean yang berkantor di Pondokcabe, nah dari sanalah kemudian dibuatkan guideline atau garis besarnya apa itu PJJ,” jelasnya.
Sekitar tahun 2015-2016 program ini dikeluarkan pemerintah, meski sudah ada peraturan menteri yg mengatur sejak 2013, yang mana banyak terjadi tarik ulurnya yang dialami oleh semua perguruan tinggi. Uniknya pada awalnya tersebut tantangan terbesar justru dialami oleh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) mungkin karena banyaknya kepentingan internal sehingga sangat sulit untuk berubah dengan cepat.
“Yang menarik ternyata dari pihak Perguruan Tinggi Swasta (PTS), tadinya yang dicoba pertama adalah sharing materi. Ini yang kemudian dihidupkan kembali di zamannya Mas Menteri, Perguruan Tinggi (PT) ini sekarang berbagi materi belajar, dan sebetulnya itu sudah 5-6 tahun lalu sudah dibuatkan sepert itu, kemudian setelah itu what’s next?” ujarnya.
Yang kemudian dicanangkan adalah Perguruan Tinggi membuat Program Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang nantinya itu diakui sebagai program studi tersendiri. Namun disadari oleh Kemenristek Dikti, tidak semua perguruan tinggi sanggup, jadi dibuatkan syarat bahwa untuk mengajukan diri harus dievaluasi dan mendapatkan izin khusus dari Kemenristek Dikti pada waktu itu.
“Jadi izinnya berbeda dan lagi-lagi bukan program bim salabim juga, bagi yang sudah memdapatkan izin ada syarat lagi minimal kampusnya terakreditasi ‘B’ karena kalo akreditasi B nanti dia boleh membuka cabang pusat belajar secara nasional dan dibatasi hingga 3 lokasi saja,” lanjutnya.
Untuk kampus yang akreditasinya ‘A’, tidak punya batasan berapa jumlah lokasi cabang dan dibolehkan membuka akses atau pusat studinya di luar negeri seperti contoh LSPR ini.
“Kami (LSPR*red) mengambil kesempatan tersebut sekitar tahun 2016 sudah mengajukan dan baru bisa beroperasi di tahun 2017,” tukasnya. (denis)