BEKASIMEDIA.COM

Menu

Mode Gelap
Heri Sholihin Menang, Kota Bekasi Punya Wali Kota Baru Soal Kisruh Data PKH Ini Penjelasan, Anggota DPRD Enie Widhiastuti Ketua Fraksi PKS Kota Bekasi Terkait TKK Minta Pemkot Lakukan Langkah Ini Bawaslu Kota Bekasi Ingatkan di Masa Sosialisasi Para Caleg dan Partai Pahami Aturan yang Berlaku Islamic Book Fair 2023: Memperkenalkan Buku sebagai Pilar Peradaban

Bekasi On Frame · 12 Sep 2020 22:21 WIB ·

LSPR Launching Program E-learning (Pembelajaran Jarak Jauh)


 LSPR Launching Program E-learning (Pembelajaran Jarak Jauh) Perbesar

BEKASIMEDIA.COM – Director Program E-learning LSPR, Ari Widodo menyatakan program Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) memiliki sejarah panjang. Ia mengatakan salah satu arsiteknya adalah seorang profesor yang mengembangkan programnya dibangun dari pengalaman beliau di Universitas Terbuka yang kemudian dibuatkan guideline atau garis besarnya.

“E-learning ini nama resminya adalah Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), sebenarnya ini program yang dicanangkan pemerintah jauh sebelum konsep kampus merdeka, saat itu masih di bawah kemenristek Dikti dengan menteri Mohamad Nuh yang mengatakan “Terjadi gap yang sangat luas antara jumlah penduduk Indonesia yang dalam usia produktif dan ingin bisa sekolah di perguruan tinggi dengan mereka yang benar-benar bisa masuk perguruan tinggi,” kata Ari Widodo saat launching program E-learning di lantai 10 Kampus London School Public & Relation, kota Bekasi, Jum’at, (11/9/2020)

Gap ini terjadi karena berbagai hal, karena waktu itu spirit awalnya adalah mencari solusi yang diurai bukan lagi komponen biaya tapi dicarikan apa alternatifnya yang bisa membantu orang Indonesia belajar masuk perguruan tinggi secara formal akan tetapi tidak lagi terkendala dengan hal-hal yang membuat mereka tidak bisa ke perguruan tinggi.

“Ternyata setelah diurai ada banyak hal yang membuat orang Indonesia tidak bisa ke perguruan tinggi, pertama, soal biaya tinggi, kedua, akses, kita yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya termasuk Bekasi mungkin sangat beruntung, naik kereta bisa sampai ke Jakarta begitu juga sebaliknya mereka yang dari Bogor bisa ke Jakarta naik kereta,” ujarnya.

Tapi untuk mereka yang berasal dari daerah dan sulit mengakses kampus, juga berbagai alasan lain yang menjadi penghalang kuliah offline, program ini dicanangkan dengan tujuan mulia. Salah satu arsiteknya adalah Prof. Paulina Pannen kemudian lahir konsep yang kita sebut Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

“Program ini punya sejarah panjang dan bukan program bim salabim, ini adalah program yang dibangun dari pengalaman beliau di Universitas Terbuka, dengan melihat pembelajaran yang dilakukan dan bekerjasama dalam konteks Asean yang berkantor di Pondokcabe, nah dari sanalah kemudian dibuatkan guideline atau garis besarnya apa itu PJJ,” jelasnya.

Sekitar tahun 2015-2016 program ini dikeluarkan pemerintah, meski sudah ada peraturan menteri yg mengatur sejak 2013, yang mana banyak terjadi tarik ulurnya yang dialami oleh semua perguruan tinggi. Uniknya pada awalnya tersebut tantangan terbesar justru dialami oleh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) mungkin karena banyaknya kepentingan internal sehingga sangat sulit untuk berubah dengan cepat.

“Yang menarik ternyata dari pihak Perguruan Tinggi Swasta (PTS), tadinya yang dicoba pertama adalah sharing materi. Ini yang kemudian dihidupkan kembali di zamannya Mas Menteri, Perguruan Tinggi (PT) ini sekarang berbagi materi belajar, dan sebetulnya itu sudah 5-6 tahun lalu sudah dibuatkan sepert itu, kemudian setelah itu what’s next?” ujarnya.

Yang kemudian dicanangkan adalah Perguruan Tinggi membuat Program Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang nantinya itu diakui sebagai program studi tersendiri. Namun disadari oleh Kemenristek Dikti, tidak semua perguruan tinggi sanggup, jadi dibuatkan syarat bahwa untuk mengajukan diri harus dievaluasi dan mendapatkan izin khusus dari Kemenristek Dikti pada waktu itu.

“Jadi izinnya berbeda dan lagi-lagi bukan program bim salabim juga, bagi yang sudah memdapatkan izin ada syarat lagi minimal kampusnya terakreditasi ‘B’ karena kalo akreditasi B nanti dia boleh membuka cabang pusat belajar secara nasional dan dibatasi hingga 3 lokasi saja,” lanjutnya.

Untuk kampus yang akreditasinya ‘A’, tidak punya batasan berapa jumlah lokasi cabang dan dibolehkan membuka akses atau pusat studinya di luar negeri seperti contoh LSPR ini.

“Kami (LSPR*red) mengambil kesempatan tersebut sekitar tahun 2016 sudah mengajukan dan baru bisa beroperasi di tahun 2017,” tukasnya. (denis)

Artikel ini telah dibaca 87 kali

badge-check

Editor

Baca Lainnya

The 3rd Festival Community Development: Karya Nyata Produk Inovatif Berkelanjutan Mahasiswa Fakultas Bisnis LSPR

24 Januari 2025 - 13:47 WIB

Aktivis Pro Palestina Ingatkan Pemerintah RI Tak Usah Tanggapi Serius Ide Trump Relokasi Warga Gaza

23 Januari 2025 - 14:27 WIB

Terkait Pernyataan Trump, Soal Relokasi Warga Gaza, Legislator PKS : Kenapa Bukan Israel Saja yang Direlokasi ke US?

22 Januari 2025 - 11:38 WIB

Terkesan jalan di Tempat, LSM Jeko kembali pertanyakan Kelanjutan Kasus Dugaan Korupsi yang Libatkan Dispora

19 Januari 2025 - 14:22 WIB

Pj. Wali Kota Bekasi Gani Muhamad Kukuhkan Pejabat Struktural Eselon II, III, IV

16 Januari 2025 - 18:02 WIB

Defisit APBN Terus Meningkat, Legislator PKS Minta Pemerintahan baru Stabilkan Ekonomi

16 Januari 2025 - 17:50 WIB

Trending di Berita Terbaru