“Apa sih, timbang disentuh-sentuh doang!” Ucap anak-anak dari (terduga) pelaku pelecehan seksual. Pelecehan seksual yang diduga dilakukan kakek 5 cucu berstatus duda kepada seorang anak perempuan berusia 11 tahun yang tak lain adalah tetangganya, di sebuah gang sempit kawasan kota Bekasi belum lama ini.
Saya tidak akan menyebut nama-nama dan lebih tepatnya tempatnya karena saat saya menerima informasi tersebut dari teman saya, seorang pekerja sosial masyarakat (PSM) yang bertandang ke rumah keluarga korban pada Kamis (17/6/2021), situasi di sana masih serba bingung, masih syok, sang anak (korban) juga bingung.
Kasus ini menurut pengakuan teman saya hanya berakhir dengan permintaan maaf dan perjanjian dari diduga pelaku yang takkan mengulangi perbuatannya. Diduga pelaku juga memutuskan tidak tinggal lagi di wilayah tersebut.
“Apa sih timbang disentuh-sentuh gitu doang?”
Miris sekali mendengar pengakuan anak dari pelaku, ya maaf, maksud saya (masih) diduga pelaku pelecehan seksual terhadap anak perempuan di bawah umur. Bukannya menyalahkan tindakan menyimpang orangtuanya malah memperburuk keadaan dengan mengatakan hal demikian.
Memang benar, hanya, cuma, itu akan diartikan sepele oleh sebagian besar orang. Tapi bagaimana jika “hanya” ini merujuk kepada “hanya menyentuh dan meraba bagian-bagian vital tubuh anak tersebut”? apakah kita masih bisa bilang ‘cuma’, ‘hanya’ ini dengan perasaan biasa saja? Sementara efek “hanya” yang akan ditanggung oleh si anak ini nampaknya akan membekas seumur hidupnya.
Anak perempuan ini mengaku akan diberi uang 2 ribu jika dia mau disentuh oleh (diduga) pelaku. Jika menolak, ia akan dimarahi.
Tambah miris. Anak bingung, orang tua juga tak tahu, setelah tahu pun, masih bingung.
“Kasihan. Anaknya sendiri kayak kurang paham gitu di usianya yang sekarang. Mereka juga dari keluarga nggak mampu,” masih penuturan anggota pekerja sosial masyarakat yang berkunjung ke rumah korban.
Anak kurang paham. Orangtua tidak paham. Ditambah lagi karena mereka berasal dari kalangan masyarakat menengah ke bawah, sepertinya menjadi tiga faktor pemicu kenapa kasus semacam ini akhirnya hanya tertangani sampai di perjanjian dan permintaan maaf diduga pelaku tanpa tahu dampak secara psikis yang terjadi pada sang anak, juga orangtuanya.
“Ini cuma merah-merah aja. Tapi nggak ada luka di dalam. Kemungkinan cuma disentuh bagian luar saja,” ucap bidan di Puskesmas terdekat usai memeriksa kondisi fisik anak perempuan korban (diduga) pelecehan tersebut pada Kamis (17/6/2021).
“Jadi, kalau ada kayak gitu lagi, teriak aja, ya, bilang, nggak mau!” lanjut bidan menasihati anak perempuan ini.
Lalu apakah setelah ini kita akan menyalahkan sang anak? Atau menyalahkan orangtuanya terkait tak adanya pendidikan seks sejak dini?
Tentang bagian mana saja anggota tubuh anak yang boleh dan tidak boleh disentuh?
Menyalahkan tentu saja tak bijak, pun menyampaikan edukasi soal bagian tubuh yang boleh dan tidak boleh disentuh belum terlambat, si anak pastinya sudah merekam pelecehan yang diterimanya dalam benaknya. Tubuhnya juga merekamnya. Mungkin suatu saat dia teringat lagi akan merasa bingung, malu, takut, jijik, marah, stres dan lain-lain.
Belum lagi perilaku menyimpang terduga pelaku. Apakah pindah rumah akan jadi satu-satunya solusi? Padahal ada semacam kekhawatiran perilaku tersebut akan terulang di tempat baru kepada anak-anak lainnya, karena belum ada efek jera, baru sebatas perjanjian dan permintaan maaf saja.
Lalu kita kembali lagi pada kata “hanya”. Memang katanya “hanya” disentuh-sentuh dan diraba-raba”. Tapi “hanya” ini pastinya ada efeknya bukan? Ini yang mengkhawatirkan.
Dalam artikel halodoc disebutkan beberapa efek atau disebut bencana psikis yang akan dialami korban pelecehan seksual. Antara lain; Mudah marah, merasa selalu tidak aman, mengalami gangguan tidur, mimpi buruk, ketakutan, rasa malu yang besar, syok, frustasi, menyalahkan atau mengisolasi diri sendiri, stres dan Depresi
Masih dari laman website halodoc, Komnas Perempuan menyebut bahwa pelecehan seksual didefinisikan sebagai tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korbannya.
Jadi, sangat miris jika masyarakat kita ternyata masih banyak yang menganggap bahwa sentuhan, rabaan di bagian tubuh “terlarang” orang lain itu “hanya” hal biasa. Ditambah banyak korban yang masih takut speak up atau bersuara soal pelecehan yang diterimanya karena takut diancam, dijauhi, dicap jelek tetangga dan lain sebagainya.
Sepanjang Tahun 2019 saja, KPAD mencatat ada 89 kasus pencabulan anak di kota Bekasi . Pada tahun 2020 data DPPPA Kota Bekasi dan Unit PPA Polres Metro Bekasi Kota Tahun 2020 mencatat ada 4 kasus kekerasan seksual, 3 di antaranya menyasar perempuan. Tahun 2021 juga masyarakat kembali digegerkan dengan pencabulan yang dilakukan anak anggota DPRD terhadap ABG. Itu yang terekspos. Yang tidak terekspos barangkali jauh lebih banyak dari angka resmi yang terdata pihak terkait.
Tentu saja kita yang tak mengalami apa yang korban alami, tak bisa menyalahkan sikap mereka yang cenderung menutup-nutupi peristiwa buruk yang terjadi padanya, karena pasti ada semacam kekhawatiran dan trauma pada dirinya.
Dilansir dari laman Psychology Today, kemungkinan korban enggan mengakui pelecehan seksual yang pernah diterimanya antara lain karena 4 hal yakni merasa malu, takut disalahkan dan takut akan akibat yang ditimbulkan, rasa rendah diri, serta rasa putus asa dan tidak berdaya.
Sungguh, kata hanya bagi kita dan kata hanya bagi korban pelecehan seksual pasti maknanya akan berbeda. Rasanya menyakitkan bahwa efek kata “hanya” bagi korban pelecehan seksual ini dianggap sepele oleh orang lain. Lantas apakah ini yang membuat banyak kasus akhirnya terulang? Karena banyak yang bingung bahkan menyepelekan? (Anr)
(Sumber Penuturan: NM/MB: Pekerja Sosial Masyarakat)