BEKASIMEDIA.COM – Sahati (60) berjalan tertatih-tatih meninggalkan persidangan di Pengadilan Kota Bekasi. Mediasi yang dilakukan pengacaranya Ayu Eza Tiara berakhir dengan tergugat yaitu Pemkot Bekasi, Jasa Tirta, PUPR, BPN Kota Bekasi, Polres Kota Bekasi, Polsek Bekasi Selatan, Ketua DPRD Kota Bekasi gagal.
Sudah lima tahun, ia tinggal mengontrak. Suaminya sudah meninggal dan anak-anaknya tidak tinggal bersamanya.
Selama lima tahun itu, Pemerintah Kota Bekasi tidak mengganti rugi rumahnya yang terkena gusur.
“Ya, sampai sekarang nggak ada. Harapannya kalau bisa ganti uang. Kalau nggak, diganti tempat tinggal rusunawa. Sekarang ngontrak. Coba, nggak ada kasihannya. Saya sudah tua,” katanya merintih.
Sahati adalah salah satu dari 16 orang yang menggugat Pemkot dan lembaga yang ikut menggusur rumah yang berada dekat dengan Wali Kota Bekasi untuk dibuat jalan.
Awal Mula Gugatan Penggusuran Pekayon
Warga korban penggusuran Pekayon dan Jakasetia yang tergabung dalam Forum Korban Penggusuran Bekasi (FKPB) didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Bekasi (10/02). Gugatan ini ditujukan kepada Perusahaan Umum Jasa Tirta II (PJT II), Wali Kota Bekasi, Kepala Dinas Tata Ruang Kota Bekasi, Kepala Satuan Pamong Praja Kota Bekasi (Satpol PP Kota Bekasi), Kapolres Metro Kota Bekasi, Kapolsek Metro Bekasi Selatan, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Kota Bekasi. Mekanisme gugatan yang ditempuh oleh warga korban penggusuran Pekayon dan Jakasetia ini adalah gugatan perbuatan melawan hukum yang didaftarkan secara daring menggunakan sistem E-Court.
Sebelumnya, pada tahun 2016 Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi melakukan penggusuran terhadap warga Pekayon dan Jakasetia. Pemerintah Kota Bekasi mengklaim tanah yang ditempati warga selama ini merupakan tanah negara sehingga tanah tersebut hendak dipergunakan untuk keperluan membangun jalan.
Meski penggusuran sejak 2016, sejak masuk ke pengadilan sudah empat kali mediasi dan berujung gagal, karena tidak dihadiri dua tergugat Pemkot dan BPN Kota Bekasi.
Mediasi terakhir di gedung rakyat, DPRD Kota Bekasi pun sama. Wali Kota maupun kuasa hukumnya tidak hadir. Namun, para tergugat dan kuasa hukum cukup senang ketika Ketua DPRD Kota Bekasi, hadir dalam mediasi, Kamis (8/4/2021).
Dalam mediasi tersebut Ketua DPRD Kota Bekasi memberikan solusi untuk mendorong Pemkot membangun rusunawa. Hal itu disampaikan oleh kuasa hukum, DPRD Kota Bekasi, Bambang Sunaryo S.H, saat ditemui di Pengadilan Kota Bekasi, Selasa (13/4/2021).
“Kemarin digagas oleh Ketua DPRD, dihadiri oleh 26 orang. beliau menyampaikan akan memfasilitasi para penggugat sepanjang tidak merugikan. artinya begini, ada penawaran rumah susun. Namun, ini tidak bisa berdiri sendiri karena pemda pernah mengusulkan adanya rumah susun di bantar gebang. Dengan anggaran itu, pemda tidak bisa sendiri minta persetujuan DPRD. DPRD sangat mendukung program pemerintah, apalagi dalam penyelesaian sengketa ini,” kata pria ini yang bekerja sebagai Dewan Pakar di DPRD Kota Bekasi.
Menurutnya dengan hadirnya, Ketua DPRD Kota Bekasi Chairoman dan ikut bermediasi sah menurut undang-undang.
“Kehadiran beliau sangat penting, karena meyakinkan kepada penggugat bahwa tergugat 7 ini kooperatif dan mau duduk bersama dan mau membantu masyarakat untuk menyelesaikan masalah. Namun, hari ini gagal kesepakatan. kehadiran tergugat 2, 3, dan 4 menjadi kendala sehingga deadlock. Sebenarnya itu adalah bagian dari hak hukum. Namun, karena ini antar rakyat dan pemerintah seharusnya diselesaikan secara damai. perkara ini akan dilanjutkan 19 april 2021, di pengadilan Bekasi, agendanya adalah pembacaan gugatan,” katanya
Tidak Ada Jalan Damai, Sidang Lanjut Terus
Hakim Rakhman Rajaguguk sempat emosi ketika kuasa hukum Pemkot Bekasi, Meilani datang terlambat, karena dirinya telah mengetuk palu bahwa mediasi yang telah dilakukan empat kali berturut-turut hingga 8 April mencapai kegagalan.
Apalagi ketika mendengar kuasa hukum, Meilani beralasan ketidakhadirannya karena sakit.
“Memang tidak ada sarjana hukum lain di Pemkot Bekasi? mengapa tidak ada menggantikan, alasan sakit tidak pas. Tolong sampaikan ke wali kota, hakim marah. Pemkot harus terdepan dalam hal ini. Legalnya setahu saya banyak, kok,” katanya berapi-api.
Rakhman mengatakan apabila Wali kota hadir, dengan diberikan solusi-solusi dan imbauan pastinya para penggugat mau menerima.
“Mohon disadari kita harus di depan, sebagai wakil dari pemerintah,” nasehatnya kepada Meilani.
Menurut Rakhman sebagai kuasa hukum atau pihak yang mewakili walikota harus stand by 24 jam. Sebagai hakim, ia tidak setuju dengan cara pihak wali kota yang tidak mau hadir dalam proses mediasi.
“Tolong sampaikan ke wali kota tidak benar caramu itu,” katanya.
Rakhman melanjutkan, oleh karenanya perkara jalan terus. Namun, sebelum perkara diputus upayakan upaya perdamaian.
“Kalau boleh damai kalau terpaksa berperkara. jadi dengan ini telah gagal upaya mediasi dan segerakan bertempur dalam persidangan nanti,” katanya.
Dalam persidangan itu, kuasa hukum DPRD, Bambang Sunaryo menambahkan di saat persidangan.
“Saat mediasi kemarin, Ketua DPRD sudah memfasilitasi. Dihadiri 24 orang di kantor DPRD, yang tidak hadir dari pemkot dan BPN. karena tidak hadir semua untuk mengambil keputusan sulit. Namun, dari ketua DPRD sudah ada rencana untuk membuat rumah susun,” katanya.
Rusunawa adalah Solusi
Ditemui di Kantor DPRD Kota Bekasi, Chairoman J Putro mengatakan bahwa penggusuran yang dilakukan Pemkot Bekasi tidak terencana.
“Memang dulu catatan di kita adalah penggusuran tidak direncanakan dengan mengantisipasi dampak terhadap hilangnya tempat tinggal yang digusur. Harusnya tempat tinggal mereka disiapkan,” katanya.
Yang tergusur itu, katanya, mereka belum siap ekonomi untuk dapat tinggal dan sampai sekarang ada yang masih terkatung-katung.
“Mereka menjadi warga buangan. dan itu menjadi masalah dengan keturunannya. Dan ini tidak sesuai dengan semangat keadilan dan Pancasila,” tambahnya.
Untuk itu, kata Chairoman, Pemkot Bekasi segera membuat Rusunawa.
“Rusunawa itukan sewa. Sewa itu bukan berarti, mereka yang tergusur langsung menyewa, tapi bisa ditanggung APBD. Karena mereka dianggap warga tidak mampu, sehingga bukan rusunawa tapi menjadi rusunami bentuknya untuk warga miskin,” kata lulusan Jepang ini.
Sehingga, kata dia, mereka bebas dari sewa kepemilikan ruang dari rumah susun itu.
“Kesepakatan antara Pemkot dan DPRD waktu itu dibuat Rusunawa di Bantar Gebang dengan anggaran 75 miliar. Hanya masalahnya ini tidak terealisasi dan terevaluasi,” katanya.
Chairoman mempertanyakan mengapa Rusunawa tersebut sejak 2007 jadi sampai sekarang. Menurutnya harusnya sudah bisa dianggarkan tahun 2019.
“Ketika itu tidak ada yang peduli masalah ini. Tahu-tahu warga Pekayon yang tergusur melakukan gugatan. Ada tujuh yang digugat, salah satunya adalah Ketua DPRD. Namun, sebetulnya tidak tepat menggugat Ketua DPRD, harusnya pimpinan, karena di sini kepemimpinannya kolegial,” katanya.
Namun, subtansinya bukan itu, kata dia, DPRD sebagai tergugat menawarkan untuk membuat Rusunawa atau Rusunami.
“Nggak masalah, jika para tergugat meminta Rusunami. Mudah-mudahan kalau disepakati bisa dianggarkan kembali di tahun 2022, karena nggak bisa sekarang. Tentu dengan kesepakatan DPRD dan walikota. Ini kembali karena kita hanya fasilitator saja,” katanya.
Namun, yang disayangkan, kata Chairoman, saat mediasi tidak ada kuasa hukum yang datang.
“Sehingga ini menjadi catatan terkait keseriusan kuasa hukum atau Walikota ke arah mana. Apakah ini dibiarkan sampai pengadilan memutuskan atau mediasi dengan perdamaian,” katanya. (Lam)