BEKASIMEDIA.COM – Pembahasan klaster ketenagakerjaan RUU Omnibus Law Cipta Kerja antara Panja Baleg DPR RI dengan pemerintah memasuki babak baru. Sudah muncul beberapa kesepatakan, satu diantaranya adalah hilangnya Upah Minimum Sektoral Kabupaten/kota (UMSK).
Presiden KSPI Said Iqbal menanggapi hal ini. Menurutnya, ketika UMSK hilang, berarti upah buruh di sektor industri yang selama ini ada UMSK, akan turun 30 persen dengan berlakunya omnibus law. Hal ini, karena, UMSK adalah upah minum berdasarkan sektor industri, yang nilainya di atas upah minimum (UMK).
“Jumlah buruh penerima UMSK saat ini adalah puluhan juta orang. Sehingga tidak mungkin dalam satu pekerjaan dengan jumlah jam kerja yang sama akan ada buruh menerima UMK dan yang lainnya UMSK, karena akan terjadi diskriminasi,” kata Said Iqbal dalam rilis yang diterima bekasimedia.com, Selasa (29/9/2020).
“Tidak adil, jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai UMK-nya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk. Karena itulah di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDP negara,” lanjutnya.
Karena itu, UMSK harus tetap ada. Tetapi jalan tengahnya, penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK dilakukan di tingkat nasional untuk beberapa daerah dan jenis industri tertentu saja. Jadi UMSK tidak lagi diputuskan di tingkat daerah dan tidak semua industri mendapatkan UMSK, agar ada fairnes.
Sedangkan perundingan nilai UMSK dilakukan oleh asosiasi jenis industri dengan serikat pekerja sektoral industri di tingkat nasional. Di mana keputusan penetapan tersebut hanya berlaku di beberapa daerah saja dan jenis sektor industri tertentu saja sesuai kemampuan sektor industri tersebut.
“Jadi tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK,” ujar Said Iqbal. (eas)