BEKASIMEDIA.COM – Langkah-langkah Pemerintahan Presiden Jokowi yang ingin memindahkan ibukota Negara dari Jakarta mulai terlihat jelas. Diantaranya sudah muncul angka anggaran sebesar 466 trilyun dan Pulau Kalimantan sebagai tujuan utama lokasi ibukota baru.
Namun suara penolakan juga mulai bermunculan. Tokoh ekonom senior Emil Salim salah satunya. Selain itu, di media petisi daring Changer.org juga, Senin (19/8/2019) ini mulai muncul petisi penolakan.
Berikut ini petisi tersebut yang dibuat oleh Arya Sandhiyudha:
Jakarta Kota Multikultural, Paling Nusantara, Pertahankan Sebagai Ibukota!
Jakarta, kota yang lahir sejak tahun 1527, merupakan kota multikultural, salah satu kota besar di Indonesia yang isu aseli-pendatang tidak relevan, sehingga nyaman sebagai tempat warga lintas etnik tinggal dan bekerja, hingga mereka “semua orang Indonesia mudah dan nyaman sepenuhnya menjadi warga Jakarta”.
Itu tidak hanya secara kultural, tapi juga bukti dalam kepemimpinan daerah di pemerintahan. Kota Jakarta juga merupakan kota yang pimpinan kepala daerahnya bisa berasal dari manapun tanpa harus terkendala sekat suku agama ataupun RAS tertentu.
Setiap Gubernur DKI secara bergilir selalu berasal dari ragam tanah kelahiran dan latar suku. Bahkan sejak awal, dari mulai Soewirjo (1945-1949) asal Wonogiri, kemudian Daan Jahja asal Padang Panjang (1949-1950). Kemudian pernah ada Henk Ngantung asal Manado (1964-1965), Ali Sadikin asal Sumedang (1966-1977).
Bapak Jokowi asal Solo yang kini menjadi menjadi presiden RI juga pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta (2012-2014). Bapak Ahok asal Belitung (2014-2017)
Gubernur DKI saat ini, Bapak Anies Baswedan, juga bukan berasal dari Jakarta, beliau lahir di Kota Kuningan, Jawa Barat, kemudian tumbuh serta tinggal di Yogyakarta.
Jakarta terlalu Nusantara sejak kelahirannya sehingga bukan hanya semua bisa merasa sepenuhnya menjadi warga Kota Jakarta, bahkan pintu untuk menjadi kepala daerahnya selalu terbuka lebar. Tidak ada regulasi yang membatasi, tidak berkembang sentimen suku aseli – pendatang, juga tidak ada pelajaran bahasa lokal.
Jakarta telah menjadi “miniatur Indonesia”, beragam suku etnis agama bisa berkumpul menjadi satu, dalam bingkai bhinneka tunggal ika.
Jika kita kehilangan Kota Jakarta Sebagai Ibukota, ada hal yang lebih mengerikan dari semua aspek pemindahan ibukota : Kita akan kehilangan pengaruh kota model multikulturalisme!. Hanya di Jakarta, sentimen aseli pendatang tidak kentara dibanding Kota/daerah lain.
Maka dari itu, dengan kita mempertahankan Jakarta sebagai Ibukota, maka kita juga turut ikut mempertahankan warisan budaya kemajemukan Indonesia.
Link petisi: klik disini
Bagaimana dengan anda, apakah setuju ibukota pindah atau tetap di Jakarta?
(eas)
Gambar pixabay