Oleh: Nicke Ariesa Putri (mahasiswi London School of Public Relations (LSPR))
Setiap orangtua pasti memahami pentingnya melengkapi anak-anak dengan
keterampilan intelektual yang dibutuhkan agar berhasil disekolah maupun di
kehidupannya. Tetapi anak-anak perlu juga menguasai emosinya.
Anak-anak yang belajar mengenali emosinya menjadi lebih percaya diri, sekaligus lebih sehat secara fisik. Mereka juga memiliki prestasi disekolah yang lebih baik dan cenderung akan menjadi orang dewasa yang sehat secara emosional.
Seringkali orangtua menghadapi masalah yang sama, yaitu bagaimana menghadapi anak mereka ketika emosinya memanas. Mereka ingin mengajarkan anak-anak mereka begaimana menangani masalah secara efektif dan ingin menjalin hubungan yang kuat dan sehat.
Menjadi orangtua yang baik membutuhkan lebih daripada sekadar intelek.
Menjadi orangtua yang baik harus melibatkan emosi.
Para peneliti telah menemukan bahwa lebih daripada IQ, kesadaran dan kemampuan emosional kita juga berperan untuk menangani perasaan akan menentukan keberhasilan dan kebahagiaan.
Bagaimana kita bisa yakin bahwa saat ini kita sudah memahami apa yang dibutuhkan oleh anak agar sehat secara emosional, sosial dan intelektual?
Para ilmuwan sudah mengkaji bahwa otak bayi yang baru lahir itu tidak lebih dari kumparan sirkuit pendek. Sebagian besar jaringan yang diperlukan untuk membuat otak bekerja, belum berkembang sepenuhnya.
Penemuan ini secara signifikan mengubah cara pandang orangtua memahami bagaimana kita melihat perkembangan anak.
Tipe orangtua yang gagal mengajarkan kecerdasan emosional kepada anak-anak
mereka, yaitu:
1. Orangtua yang mengabaikan, yang tidak menghiraukan, meremehkan emosi-emosi negatif anak.
2. Orangtua yang tidak menyetujui, yang bersifat kritis terhadap ungkapan perasaan-perasaan negatif anak mereka dan barangkali memarahi atau menghukum mereka.
3. Orangtua yang menerima emosi anak mereka dan berempati dengan mereka, tetapi tidak memberikan bimbingan atau menentukan batas-batas pada tingkah laku anak mereka.
Ketika kita sebagai orangtua tidak yakin terhadap bagaimana harus merespons anak kita, untuk mengambil keputusan, posisikan saja diri kita sebagai dirinya. Rasakan apa yang kira -kira sedang diarasakan. Jangan berpikir apa yang cocok untuknya. Bahkan batasi upaya kita menentukan perasaan yang tepat ketika itu memberi keuntungan.
Kita adalah teladan bagi anak kita. Anak melihat seluruh gerakan orangtua dan cermat merekam kata-kata yang terucap.
Orangtua adalah di mana darinya anak-anak membangun kehidupan mereka kelak dan itu mutlak.
Bagi orang tua, mutu “kecerdasan emosional” ini berarti menyadari perasaan anak kita. Mampu berempati, menghibur, dan membimbing mereka.
Tugas kita sebagai orangtua adalah menunjukan kepada anak kita bagaimana mencintai, bagaimana menghargai oranglain, dan bagaimana memperbaki dunia. Sehingga, sekali lagi, perlakukan anak kita dengan cara seperti kita ingin diperlakukan.