Oleh: Rizki Ika Sahana
(Pemerhati Perempuan, Keluarga, dan Generasi)
Saat mendengar frasa layak anak, apa yang ada di benak kita? Tentu tentang semua yang menawarkan kehangatan, simpati, kebaikan, juga kenyamanan bagi anak. Bagaimana dengan kota layak anak? Yup, pikiran kita pasti melayang membayangkan sebuah kota lengkap dengan segala environtment yang bukan hanya cocok lagi memadai bagi anak, tapi juga memberikan manfaat positif bagi tumbuh-kembang mereka.
Sayangnya, predikat kota layak anak tak selalu indah dalam realitanya. Karena banyak dijumpai kenyataan getir yang bertolak belakang dengan definisinya. Kasus kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak yang masih marak, angka gizi buruk yang tinggi juga putus sekolah yang cukup besar, pencemaran lingkungan yang mewabah yang memberikan kontribusi pada tingkat kesehatan anak, juga konsep tata kelola kota yang mengabaikan perlindungan anak, adalah sebagian masalah kota-kota penyandang sebutan kota ramah anak.
Bekasi sebagai salah satu kota penerima penghargaan Kota Layak Anak Kategori Madya, sebagaimana yang disematkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak (PPPA), Yohanna, pada peringatan Hari Anak Nasional tahun 2018 kemarin, patut pula dicermati. Apakah predikat kota layak anak benar sebuah fakta atau sekadar label tanpa realita?
Kenyataannya, angka kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak di Bekasi masih tergolong tinggi, mencapai 120 kasus di sepanjang 2018. Mulai kekerasan fisik dan psikis, tawuran, persekusi, bullying, hingga kekerasan seksual, hak asuh anak dan persetubuhan. Sementara itu jumlah balita pengidap kurang gizi di Kota Bekasi pada 2017 mencapai 18.145 balita. Belum lagi persoalan sampah Bantar Gebang yang setiap harinya menerima kiriman 9000-an ton sampah yang jelas membawa resiko kesehatan bagi anak juga warga secara umum.
Konsep tata kelola kota yang berorientasi bisnis ala kapitalisme, bukan periayahan (pengurusan) terhadap urusan masyarakat dan perlindungan anak, juga masih dominan. Pembangunan besar-besaran mal sebagai icon bisnis di berbagai kawasan, adalah fakta telanjang yang tak terbantahkan. Pada 2016 saja, ada 20-an mal yang beroperasi di kawasan Kota dan Kabupaten Bekasi. Pada 2019, rencananya akan beroperasi Grand Dhika City Mall yang dikembangkan Adhi Persada Property. Selanjutnya pada tahun 2020 akan ada empat tambahan mal baru di Bekasi yaitu Plaza Indonesia Jababeka di daerah Cikarang yang dikembangkan Plaza Indonesia Realty & Graha Buana Cikarang yang masih dalam tahap konstruksi, dan tiga lainnya, yakni Kota Harapan Indah, Shopping Mall at Kota Wisata dan AEON Mall Deltamas, saat ini masih dalam tahap perencanaan. Wow!
Tata kelola kota yang juga masih belum mampu menyangga kebutuhan sanitasi, jalan, dan transportasi masal bagi populasi penduduk yang tinggi, menyebabkan kemacetan, polusi, juga banjir. Problem ini tentu mempengaruhi lingkungan sebagai area tumbuh kembang anak.
Bayangkan, dengan kondisi carut-marut problem kota semacam itu, ke mana anak-anak kita akan mencari tempat ‘berlindung’ sementara nyaris tak ada ruang bagi mereka untuk tumbuh dan bersemi menjadi generasi ideal nan kamil?
Jauh sebelum lahirnya kota-kota metropolis modern seperti hari ini, Islam telah membangun kota-kotanya dengan pengelolaan yang mengagumkan. Kota-kota tersebut dibangun mendasarkan kepada konsep pelayanan dan periayahan (pengurusan) urusan masyarakat, bukan semata berorientasi bisnis. Semua dilakukan dalam rangka taat kepada Rabb pencipta manusia juga seluruh alam.
Salah satu kota terbaik dalam peradaban Islam adalah Baghdad. Mengutip penjelasan Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar, para sejarahwan perkotaan Modelski maupun Chandler menyatakan bahwa Baghdad di Iraq memegang rekor kota terbesar di dunia dari abad-8 M hingga abad-13 M. Penduduk Baghdad pada tahun 1000 M ditaksir sudah 1.500.000 jiwa. Peringkat kedua diduduki oleh Cordoba di Spanyol yang saat itu juga merupakan bagian dari wilayah Islam dengan jumlah penduduk 500.000 jiwa dan baru Konstantinopel yang saat itu masih ibu kota Romawi-Byzantium dengan 300.000 jiwa.
Namun sebagaimana laporan para pengelana Barat, baik Baghdad maupun Cordoba adalah kota-kota yang tertata rapi, dengan saluran sanitasi pembuang najis di bawah tanah serta jalan-jalan luas yang bersih dan diberi penerangan pada malam hari. Ini kontras dengan kota-kota di Eropa pada masa itu, yang kumuh, kotor dan di malam hari gelap gulita, sehingga rawan kejahatan.
Kunci semua itu ada pada perencanaan kota yang luar biasa. Prof. Fahmi Amhar menulis, setiap bagian kota yang direncanakan untuk jumlah penduduk tertentu dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan. Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar. Negara dengan tegas mengatur kepemilikan tanah berdasarkan syariat Islam. Tanah pribadi yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun akan ditarik kembali oleh negara, sehingga selalu tersedia dengan cukup tanah-tanah yang dapat digunakan untuk membangun fasilitas umum. MasyaAllah, sungguh memesona! Gambaran kota yang bukan hanya layak bagi anak, tapi juga bagi seluruh masyarakat.
Dengan memahami perbandingan tersebut, ke depan diharapkan ada upaya serius merencanakan sekaligus mengelola dan mengatur kota-kota yang ada, khususnya kota Bekasi, menuju kota layak anak yang sesungguhnya juga layak bagi kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Ini hendaknya menjadi bahan evaluasi bagi para pemimpin penyelenggara negara, untuk segera berbenah, agar sematan Kota Layak Anak menjadi nyata, bukan mimpi semata.[]