BEKASIMEDIA.COM Tung Tung Saur dan Tantangan Literasi Digital Anak

Menu

Mode Gelap
Heri Sholihin Menang, Kota Bekasi Punya Wali Kota Baru Soal Kisruh Data PKH Ini Penjelasan, Anggota DPRD Enie Widhiastuti Ketua Fraksi PKS Kota Bekasi Terkait TKK Minta Pemkot Lakukan Langkah Ini Bawaslu Kota Bekasi Ingatkan di Masa Sosialisasi Para Caleg dan Partai Pahami Aturan yang Berlaku Islamic Book Fair 2023: Memperkenalkan Buku sebagai Pilar Peradaban

Opini · 2 Jun 2025 06:00 WIB ·

Tung Tung Saur dan Tantangan Literasi Digital Anak


 Tung Tung Saur dan Tantangan Literasi Digital Anak Perbesar

Oleh: Agung Tazka
Praktisi Pendidikan

BEKASIMEDIA.COM – Senin (2/6/2025) Di era digital yang serba cepat, kreativitas manusia kini dapat diwujudkan melalui teknologi kecerdasan buatan (AI). Berbagai karakter animasi digital bermunculan, menyita perhatian publik, terutama anak-anak. Salah satu yang tengah viral di Indonesia adalah fenomena Tung Tung Saur.

Karakter ini awalnya menjanjikan. Ia muncul sebagai bentuk adaptasi budaya lokal dalam wujud kentongan yang “dihidupkan” dengan narasi positif. Dalam bayangan saya, Tung Tung Saur bisa menjadi media edukatif yang membumikan nilai-nilai kebaikan: mengajak anak-anak untuk belajar agama, berpuasa, menghormati orang tua, dan menjalin persahabatan. Konten yang seharusnya mendidik, menyenangkan, dan membangun.

Namun, sayangnya, arah perkembangannya kini justru menyimpang. Dalam beberapa bulan terakhir, saya mengamati banyak konten Tung Tung Saur yang tidak lagi relevan dengan nilai edukatif. Sebaliknya, mulai bermunculan narasi yang mengandung kekerasan, perundungan, tema pacaran yang tidak sesuai usia, bahkan unsur LGBT. Semua dibungkus dalam kemasan lucu dan ringan, namun tetap tidak pantas untuk konsumsi anak-anak.

Tren ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Keberadaan algoritma media sosial yang mengedepankan viralitas membuat banyak kreator lebih tergiur pada keuntungan semata. Akibatnya, substansi edukatif dikorbankan demi sensasi dan monetisasi. Di titik inilah kita perlu waspada: ketika konten untuk anak tak lagi mendidik, tapi justru menyusupkan nilai yang dapat mengganggu perkembangan moral mereka.

Sebagai praktisi pendidikan, saya melihat ini sebagai bentuk darurat literasi digital. Kita terlalu cepat mengagumi inovasi, namun lambat menyaring implikasi. Banyak orang tua belum menyadari bahwa anak-anak belum punya kemampuan skrining yang cukup untuk membedakan mana tontonan yang mendidik, mana yang merusak.

Perlu ada langkah kolektif. Para orang tua mesti lebih aktif mendampingi anak saat mengakses konten digital. Pemerintah dan platform digital juga semestinya memperkuat regulasi dan kurasi terhadap konten anak. Dan tentu saja, para kreator lokal perlu kembali pada niat awal: menjadikan AI sebagai alat penyampai kebaikan, bukan sekadar pemicu tawa atau cuan.

Saya pribadi berupaya menghadirkan kontra-narasi lewat kanal Happy Edukidz, yang tetap menyajikan Tung Tung Saur versi edukatif. Konten ini mengajarkan nilai-nilai universal—seperti kasih sayang, kejujuran, solidaritas, cinta pada sesama dan Tanah Air—dengan tetap mempertahankan unsur hiburan. Saya percaya, anak-anak tak harus dijejali hiburan dangkal. Mereka juga berhak mendapat tontonan yang membangun karakter.

Artikel ini telah dibaca 56 kali

badge-check

Jurnalis

Baca Lainnya

Tim Media TASKIA Siap Sajikan Konten Kreatif dan Inspiratif untuk Sekolah

9 Agustus 2025 - 21:54 WIB

Pemkot Bekasi Pastikan Tidak Ada Anak Putus Sekolah, Siap Bantu Lewat Program Khusus

4 Agustus 2025 - 17:01 WIB

English 1 Hadir di Jatiasih, Langsung Diserbu 600 Pendaftar!

3 Agustus 2025 - 14:30 WIB

UNSOED Perluas Jangkauan KKN Internasional Hingga Vietnam

30 Juli 2025 - 17:24 WIB

Lurah Kotabaru Gercep, Dua Siswi Putus Sekolah Langsung Didaftarkan Kembali ke SMAN 12

23 Juli 2025 - 14:10 WIB

Wali Kota Bekasi Pantau SDN Margahayu IX, Ajukan Renovasi dan Batalkan Rencana Merger Sekolah

22 Juli 2025 - 14:06 WIB

Trending di Pendidikan