Oleh: Agung Tazka
Praktisi Pendidikan
BEKASIMEDIA.COM – Senin (2/6/2025) Di era digital yang serba cepat, kreativitas manusia kini dapat diwujudkan melalui teknologi kecerdasan buatan (AI). Berbagai karakter animasi digital bermunculan, menyita perhatian publik, terutama anak-anak. Salah satu yang tengah viral di Indonesia adalah fenomena Tung Tung Saur.
Karakter ini awalnya menjanjikan. Ia muncul sebagai bentuk adaptasi budaya lokal dalam wujud kentongan yang “dihidupkan” dengan narasi positif. Dalam bayangan saya, Tung Tung Saur bisa menjadi media edukatif yang membumikan nilai-nilai kebaikan: mengajak anak-anak untuk belajar agama, berpuasa, menghormati orang tua, dan menjalin persahabatan. Konten yang seharusnya mendidik, menyenangkan, dan membangun.
Namun, sayangnya, arah perkembangannya kini justru menyimpang. Dalam beberapa bulan terakhir, saya mengamati banyak konten Tung Tung Saur yang tidak lagi relevan dengan nilai edukatif. Sebaliknya, mulai bermunculan narasi yang mengandung kekerasan, perundungan, tema pacaran yang tidak sesuai usia, bahkan unsur LGBT. Semua dibungkus dalam kemasan lucu dan ringan, namun tetap tidak pantas untuk konsumsi anak-anak.
Tren ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Keberadaan algoritma media sosial yang mengedepankan viralitas membuat banyak kreator lebih tergiur pada keuntungan semata. Akibatnya, substansi edukatif dikorbankan demi sensasi dan monetisasi. Di titik inilah kita perlu waspada: ketika konten untuk anak tak lagi mendidik, tapi justru menyusupkan nilai yang dapat mengganggu perkembangan moral mereka.
Sebagai praktisi pendidikan, saya melihat ini sebagai bentuk darurat literasi digital. Kita terlalu cepat mengagumi inovasi, namun lambat menyaring implikasi. Banyak orang tua belum menyadari bahwa anak-anak belum punya kemampuan skrining yang cukup untuk membedakan mana tontonan yang mendidik, mana yang merusak.
Perlu ada langkah kolektif. Para orang tua mesti lebih aktif mendampingi anak saat mengakses konten digital. Pemerintah dan platform digital juga semestinya memperkuat regulasi dan kurasi terhadap konten anak. Dan tentu saja, para kreator lokal perlu kembali pada niat awal: menjadikan AI sebagai alat penyampai kebaikan, bukan sekadar pemicu tawa atau cuan.
Saya pribadi berupaya menghadirkan kontra-narasi lewat kanal Happy Edukidz, yang tetap menyajikan Tung Tung Saur versi edukatif. Konten ini mengajarkan nilai-nilai universal—seperti kasih sayang, kejujuran, solidaritas, cinta pada sesama dan Tanah Air—dengan tetap mempertahankan unsur hiburan. Saya percaya, anak-anak tak harus dijejali hiburan dangkal. Mereka juga berhak mendapat tontonan yang membangun karakter.