Oleh: Dr. Sunan, M.Pd.
(Bid. Pendidikan & Kesehatan DPD PKS Kota Bekasi)
Fenomena 5.776 pria penyuka sesama jenis di Bekasi bukan sekadar data statistik, tetapi ancaman serius bagi generasi muda. Dari sisi pendidikan, anak-anak dan remaja rentan terpapar normalisasi LGBT melalui media sosial dan lingkungan, sehingga penting memperkuat kurikulum karakter, literasi digital, dan peran guru BK.
Dari sisi kesehatan, hubungan sesama jenis terbukti meningkatkan risiko HIV/AIDS sebagaimana ditegaskan dalam UU Kesehatan, sehingga pemerintah daerah wajib mengedepankan pencegahan, skrining, dan konseling medis. Jalan keluarnya adalah regulasi tegas yang berpihak pada masa depan bangsa, bukan kebencian, melainkan perlindungan.
Regulasi Hukum dan Sikap Negara
Data ini harus dipandang serius, dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hak individu memang dijamin Pasal 28D, tetapi Pasal 28J ayat (2) jelas menyatakan setiap kebebasan dibatasi norma agama, moral, dan ketertiban umum. Dengan demikian, LGBT tidak bisa diklaim sebagai hak absolut.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memberi dasar hukum. Pasal 281 melarang perbuatan cabul di muka umum, sedangkan Pasal 292 melarang pencabulan sesama jenis terhadap anak di bawah umur.
UU Kesehatan No. 36/2009 Pasal 152 mewajibkan pencegahan penyakit menular. UU Perlindungan Anak No. 35/2014 Pasal 59 mewajibkan perlindungan khusus dari penyalahgunaan seksual. UU Perkawinan No. 1/1974 (jo. UU 16/2019) menegaskan perkawinan sah hanya antara pria dan wanita.
Pemerintah daerah pun punya kewenangan. UU No. 23/2014 Pasal 12 menegaskan urusan wajib daerah adalah ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Artinya, Pemkot Bekasi bersama DPRD bisa menyusun Perda Ketertiban Umum dan Perlindungan Generasi Muda yang melarang propaganda LGBT di ruang publik, memberikan sanksi administratif, serta menyiapkan jalur rehabilitasi sosial.
Perspektif Pendidikan dan Kesehatan
Fenomena LGBT tidak bisa dilepaskan dari aspek pendidikan dan kesehatan. Dari sisi kesehatan, data UNAIDS mencatat lebih dari 40% kasus baru HIV di Asia Tenggara ditularkan melalui hubungan sesama jenis. UU Kesehatan dengan tegas mengamanatkan upaya pencegahan penyakit menular. Maka, Dinas Kesehatan harus memperkuat skrining HIV, layanan konseling, dan edukasi reproduksi, bukan untuk melegalkan perilaku LGBT, namun melindungi masyarakat dari epidemi.
Di sisi pendidikan, UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003 Pasal 3 menegaskan fungsi pendidikan adalah membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, sehingga Dinas Pendidikan Bekasi wajib memperkuat kurikulum pendidikan karakter, literasi digital, dan memperluas peran guru BK agar siswa tidak mudah terpengaruh narasi normalisasi LGBT di media sosial.
Keluarga juga harus diperkuat, karena UU No. 52/2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga memberi landasan agar pemerintah memperkuat program ketahanan keluarga. Trauma masa kecil, pola asuh salah, hingga lingkungan permisif sering menjadi pintu masuk penyimpangan. Dengan keluarga sebagai benteng, generasi muda lebih terlindungi.
Kita pasti sepakat bahwa Fenomena LGBT di Bekasi jelas membutuhkan regulasi yang tegas sekaligus humanis. Negara harus hadir bukan untuk menghakimi, melainkan melindungi. Pendidikan dan kesehatan menjadi dua benteng utama dalam menyelamatkan generasi muda dari arus penyimpangan.
Akhirnya, bagi kita menolak LGBT bukan soal kebencian, tetapi ikhtiar menjaga generasi agar tetap sehat, kuat, dan bermartabat.
Bekasi, 24 September 2025