Oleh : Tatik Wiharti (Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi, Universitas Mercubuana)
Sejak diumumkan oleh Presiden Joko Widodo mengenai kasus pertama Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) pada awal Maret 2020 yang lalu, Indonesia kemudian dihadapkan pada masa pandemi. Hampir seluruh sektor kehidupan lumpuh, tidak terkecuali di bidang pendidikan. Pesantren termasuk tatanan pendidikan yang merupakan tatanan potensial terjadinya penularan COVID-19. Pesantren yang merupakan tatanan/lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, berjumlah 27.722 pesantren dengan santri sebanyak 4.174.146 orang (Pangkalan Data Pondok Pesantren Kementerian Agama, 2020).
Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) Ali Ramdhani menyebut sulit melarang pesantren melakukan Pembelajaran Tatap Muka (PTM). Sebab, model pendidikan di pesantren berbeda dari satuan pendidikan yang lain.
“Untuk dunia pesantren, pesantren ini adalah entitas yang unik, entitas yang pada satu titik kita tidak bisa melarang, karena jangkauan kita tidak bisa melarang PTM,” kata Ali dalam webinar Ngopi Seksi Outlook Pendidikan Indonesia 2021, Minggu, 3 Januari 2021.
Pandemi Covid-19 memberikan dampak yang cukup besar, terutama terhadap sektor perekonomian nasional. PHK dan upaya merumahkan ribuan karyawan perusahaan bukti nyata bahwa roda perekonomian kita terseok-seok.
Karena itulah, pemerintah berencana menerapkan kenormalan baru (new normal life), terutama untuk memulihkan perekonomian nasional. Menuju ke arah itu, berbagai panduan dikeluarkan. Mulai panduan kenormalan baru di dunia industri, perkantoran, hingga dunia pendidikan, termasuk pesantren.
Sebagai lembaga pendidikan berbasis asrama, pesantren adalah entitas yang terkena dampak cukup serius dan dilematis. Dianggap serius karena di pesantren bermukim jutaan santri dan ustad (guru) yang sangat rentan tertular atau menularkan penyakit.
Dilematisnya, di satu sisi santri, ustad, dan pengasuh pesantren ingin tetap melaksanakan kegiatan rutin sebagai lembaga pendidikan agama, tapi di sisi lain tidak (belum) bisa menerapkan protokol kesehatan secara penuh. Akhirnya hampir semua pesantren memulangkan santrinya lebih awal dari jadwal kepulangan sesuai kalender akademik. Konsekuensinya, semua kegiatan pembelajaran, baik sekolah atau madrasah maupun pengajian kitab, terpaksa dilaksanakan secara daring atau pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Kini, di tengah wacana new normal, pesantren bersiap menarik kembali santri-santrinya. Keinginan para ustad, kiai, dan pengasuh pesantren tersebut dapat kita pahami, setidaknya dengan tiga pertimbangan.
Pertama, kegiatan pembelajaran tidak selamanya dapat dilakukan dengan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ). Masalah utama yang dihadapi, tidak semua tempat tinggal santri mempunyai akses yang memadai terhadap jaringan internet. Sebab, sebagian besar mereka berasal dari pelosok desa. Kalaupun mempunyai akses yang baik, tidak semua santri memiliki kuota internet yang cukup untuk mengikuti pembelajaran.
Kedua, pergaulan santri. Santri yang terlalu lama berada di rumah tanpa aktivitas yang sepadan dengan pesantren menimbulkan kejenuhan. Pada saat itu mereka melepaskan kejenuhan dengan berbagai aktivitas, mulai bermain handphone hingga mencari pergaulan di luar. Kebanyakan wali santri meminta kepada pesantren agar segera menarik kembali putra-putrinya karena khawatir pergaulan yang dilakukan berdampak negatif.
Para orang tua menyadari tidak mampu mengontrol anak-anak mereka. Kesibukan bekerja menjadi faktor utama ketidakmampuan tersebut yang berakibat pada lalainya orang tua mengawasi aktivitas anaknya. Kejahatan narkoba, pergaulan bebas, mabuk-mabukan, perjudian, dan sebagainya menjadi ancaman nyata pergaulan santri di luar pesantren.
Ketiga, bagi pesantren, santri yang terlalu lama di rumah menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Yang paling terasa ialah disiplin santri untuk mengikuti dan menaati jadwal kegiatan dan peraturan seperti salat berjamaah, mengaji kitab kuning, salat Tahajud, masuk madrasah, dan kegiatan-kegiatan lain yang selama ini menjadi rutinitas. Atas pertimbangan itulah, beberapa pesantren ingin segera memanggil kembali santri-santrinya untuk memulai aktivitas.
Meski begitu, pertimbangan-pertimbangan tadi belum cukup sebagai alasan membuka kembali kegiatan pesantren. Berbagai prasyarat harus dipenuhi secara ketat agar pesantren tidak menjadi klaster baru persebaran Covid-19.
Beberapa pihak masih sangsi apakah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia tersebut mampu menjalankan tatanan hidup baru di lingkungan pesantren.
Pakar epidemiologi Universitas Airlangga Surabaya dr Windu Purnomo, menyayangkan masih adanya aktivitas pendidikan di pondok pesantren dan asrama di tengah masa pandemi Covid-19 saat ini. Menurut Windu, Semua yang pendidikan seperti itu diasramakan sangat berisiko tinggi, itu belum waktunya di masa pandemi, ketika zona masih ada yang merah, tidak boleh sebetulnya membuka ponpes dan membuka pendidikan, apalagi tinggal di situ,”.
Sementara itu, Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahadil Islamiyah (RMI) Nahdlatul Ulama (NU) dalam siaran persnya pada 29 Mei 2020 meminta pemerintah untuk mengambil kebijakan yang konkret dan berpihak sebagai wujud keseriusan dalam menjaga pesantren dari risiko penyebaran virus Covid-19.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Susanto meminta pemerintah menunda kebijakan normal baru dengan membuka Kembali kegiatan tatap muka di pondok Pesantren seiring belum menurunnya angka positif Covid 19.
Selain itu di antara wali santri pun terbagi antara yang pro dan kontra dengan rencana kegiatan belajar tatap muka di masa pandemi covid 19 ini.
Komunikasi Persuasif Mencari Solusi
Komunikasi persuasif adalah salah satu teknik komunikasi yang ditujukan untuk meyakinkan orang lain agar berpikir atau bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pengirim pesan. Secara umum yang dimaksud dengan komunikasi persuasif adalah proses penyampaian pesan dengan tujuan untuk menguatkan atau merubah tanggapan yang diberikan oleh orang lain. Komunikasi persuasif biasanya digunakan dalam berbagai bidang diantaranya pemasaran, politik, kampanye, dan lain-lain.
Para ahli atau peneliti komunikasi memandang persuasi sebagai proses komunikasi dimana komunikator berusaha memperoleh respon yang diinginkan dari penerima pesan. Menurut Wilbur Schramm (1971), proses persuasi yang utamanya merupakan proses komunikasi terdiri dari perkenalan beberapa informasi yang mengarahkan penerima untuk menilai kembali persepsinya tentang lingkungannya dan menilai kembali apa yang menjadi kebutuhan dan cara untuk memenuhi kebutuhan, hubungan sosial, kepercayaan, atau sikap mereka.
Nothstine (1991) memberi batasan persuasi sebagai setiap usaha untuk mempengaruhi tindakan atau penilaian orang lain dengan cara berbicara atau menulis kepada mereka. Brembeck dan Howell (1952) mendefinisikan persuasi sebagai usaha sadar untuk mengubah pikiran dan tindakan dengan memanipulasikan motif orang ke arah tujuan yang sudah ditetapkan. Andersen (1972) membatasi pengertian persuasi sebagai suatu proses komunikasi interpersonal. Komunikator berupaya dengan menggunakan lambang-lambang untuk mempengaruhi kognisi penerima. Jadi secara sengaja mengubah sikap atau kegiatan seperti yang diinginkan komunikator. Dalam memahami konsep persuasif, Bettinghause (1973) menjelaskan: “Agar bersifat persuasif, suatu situasi komunikasi harus mengandung upaya yang dilakukan seseorang dengan sadar untuk mengubah perilaku orang lain atau sekelompok orang lain dengan menyampaikan beberapa pesan.
Dalam bukunya Business Communication: Process & Product, 9th Edition, Mary Ellen Guffey, Dana Loewy menjelaskan 6 (enam) Teknik Efektif Persuasi yaitu : Bangun kredibilitas (Establish Credibility), Membuat alasan yang wajar dan spesifik (Make A Reasonable, Specific Request), Ikat fakta dengan manfaat (Tie Facts To Benefits), Kenali kekuatan dan kelemahan (Recognize The Power Of Loss), harapan dan atasi perlawanan (Expect And Overcome Resistance), bagikan solusi dan kompromi (Share Solutions & Compromise).
Bangun kredibilitas (Establish Credibility)
Masyarakat Pesantren yang terdiri dari pimpinan pesantren, ustadz/ustadzah, santri dan pegawai pesantren lainnya. Harus mampu membangun kredibilitas dalam menjalankan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang menjadi bagian tatanan hidup baru dalam lingkungan pesantren. Hal ini dilakukan dengan membuat aturan – aturan yang mengikat seluruh komponen masyarakat pesantren, pengadaan sarana dan prasarana penunjang, serta pengawasan pelaksanaannya dan berkoordinasi dengan pihak pemerintah terkait seperti satgas covid di tingkat kecamatan, bahkan ke tingkat kota/kabupaten.
Membuat alasan yang wajar dan spesifik (Make A Reasonable, Specific Request)
Pola Pendidikan dengan melakukan transfer ilmu dan pembinaan moral serta etika di pondok pesantren berlangsung selama 24 jam menjadi keunikan tersendiri dan menjadi alasan yang kuat untuk kembali membuka pondok pesantren secara tatap muka bukan dengan metode pendidikan jarak jauh / daring. Dan alasan tersebut harus diperkuat oleh masyarakat pesantren dengan keseriusan dan kesiapan dalam menjalankan protokol kesehatan untuk mencegah kluster baru dari penyebaran Covid-19 di lingkungan pesantren.
Ikat fakta dengan manfaat (Tie Facts To Benefits)
Wali santri perlu diyakinkan bahwa pondok pesantren sudah menjalankan protokol kesehatan. Hal ini bisa dilakukan dengan pembuatan dokumentasi berupa video atau foto masyarakat pesantren yang telah menjalankan protokol kesehatan sebelumnya rencana pembukaan kembali pondok pesantren. Lalu diadakan penahapan santri yang kembali ke pondok pesantren dengan melakukan pembatasan kapasitas sesuai dengan buku panduan pembelajaran masa pandemi yang dikeluarkan bedasarkan SKB 4 menteri. Misal untuk asrama dengan kapasitas > 100 peserta didik, bulan 1 : 25%, bulan 2 : 50%, bulan 3 : 75%, Bulan IV : 100%. Atau bisa juga di prioritaskan santri tingkat akhir yang masuk pondok terlebih dahulu yaitu kelas IX dan XII karena mereka harus belajar intens.
Keberhasilan pelaksanaan protokol kesehatan di masyarakat pesantren dan kegiatan belajar tatap muka tahap awal inilah yang menjadi penguat alasan wali santri lainnya untuk ikut ajakan dari pihak pesantren mengirimkan kembali putra putrinya ke pondok pesantren.
Kenali kekuatan dan kelemahan (Recognize The Power Of Loss)
Pondok pesantren di Indonesia memiliki karakter yang bervariasi, dari yang tradisional sampai dengan moderen, dari yang di pelosok desa sampai dengan di perkotaan, begitu pula pemahaman terkait pandemi covid 19 yang beragam di kalangan pimpinan pesantren. Dengan karakteristik yang beragam tersebut semuanya di wajibkan untuk melaksanakan protokol kesehatan pencegahan penyebaran covid-19 dari menggunakan masker, mencuci tangan dengan sabun sampai pengaturan jarak serta langkah – langkah penunjang lainnya yang disyaratkan oleh pemerintah. Disinilah masyarakat pesantren harus lebih mengukur sumber daya di internal terkait kekuatan dan kelemahan. Dukungan peran pemerintah sangat diperlukan untuk keberhasilan program ini.
Pemerintah baik nasional maupun daerah memiliki peran yang cukup strategis dalam hal membuka komunikasi persuasif kepada masyarakat pesantren untuk melakukan kegiatan pencegahan dan pengendalian Covid-19, seperti yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/2322/2020 Tentang Panduan Pemberdayaan Masyarakat Pesantren Dalam Pencegahan Dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Di Pesantren, dan Buku Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Dimasa Pandemi Corona Disease 2019 (Covid -19) sesuai dengan Surat Keputusan Bersama 4 menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan dan Menteri Agama. Selain ranah regulasi, Pemerintah juga membuat program bantuan biaya untuk pelaksanaan tatanan hidup baru di pondok pesantren. Misal: Bantuan Dana untuk penyediaan Sarana dan Prasarana seperti tempat cuci tangan, alat desinfektan, pengukur suhu, hand sanitizer, masker, atau layanan tes rapid antigen gratis bagi santri yang akan masuk ke pondok pesantren. Peran pemerintah juga diperlukan dalam hal edukasi aturan terkait Penyelenggaraan Pembelajaran Dimasa Pandemi Corona Disease 2019 (Covid -19) , pengawasan kesiapan pesantren sebelum pembukaan kegiatan belajar mengajar tatap muka, dan pengawasan secara berkala setelah kegiatan belajar mengajar tatap muka dijalankan. Bahkan jika perlu, Pemerintah berkewajiban melarang pondok pesantren yang belum siap menjalankan Panduan Pemberdayaan Masyarakat Pesantren Dalam Pencegahan Dan Pengendalian Covid-19 di Pesantren untuk membuka kegiatan belajar mengajar secara tatap muka.
Harapan dan atasi perlawanan (Expect And Overcome Resistance)
Harapan dari masyarakat pesantren dan sebagian besar wali santri agar pembukaan kegiatan belajar mengajar tatap muka bisa dilaksanakan dengan baik dan kondisi pondok pesantren kembali normal. Sehingga kondisi pesantren dan sekitarnya yang sempat terdampak dengan pandemi covid 19 ini sedikit demi sedikit berangsur normal dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Jika ada pihak – pihak yang masih meragukan, masyarakat pesantren cukup memberikan bukti keberhasilan dan masyarakat yang akan menilai dan menentukan sikapnya.
Bagikan solusi dan kompromi (Share Solutions & Compromise)
Masyarakat pesantren menjadi motor utama perubahan tatanan baru kegiatan belajar mengajar tatap muka di masa pandemi covid 19 ini. Dengan membuat dan menjalankan regulasi, melengkapi sarana dan prasarana serta berkoordinasi dengan pemerintah setempat melalui satgas covid 19, tentunya ini menjadi solusi yang harus dijalankan. Sehingga kehidupan pondok pesantren berangsur normal dalam tatanan baru.
Wali santri pun dapat membantu masyarakat pesantren dari awal rencana pembukaan pondok pesantren. Sebelum hadir ke pondok pesantren, santri sudah diedukasi dan dibiasakan untuk melakukan pola hidup sehat di rumah, melakukan protokol kesehatan dari menggunakan masker, mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer dan menjaga jarak. Melakukan rapid test antigen sebelum kembali ke pondok pesantren. Dan membatasi kunjungan orang tua ke lingkungan pondok pesantren, sebagai langkah pencegahan penyebaran covid 19. Komunikasi antara santri dengan wali santri juga dapat dilakukan secara daring atau lewat telepon yang di fasilitasi pihak asrama pondok pesantren. Wali santri juga bisa mendukung pondok pesantren dengan memberikan bantuan dana atau material terkait pelaksanan protokol kesehatan di pondok pesantren.
Masyarkat pesantren juga bisa memberikan kelonggaran bagi wali santri yang masih tetap menginginkan putra – putrinya tetap di rumah melakukan pelajaran jarak jauh secara daring.
Tiga pihak yang terkait dengan kegiatan belajar mengajar di pondok pesantren yaitu masyarakat pesantren, wali santri dan pemerintah memiliki peran penting untuk mencari solusi kegiatan belajar mengajar yang terbaik di masa pandemi ini. Salah satunya berkomunikasi secara persuasif antar pihak dan saling berelaborasi.
Kesimpulan
Harapannya pondok pesantren menjadi contoh entitas pendidikan yang mampu melakukan kegiatan Penyelenggaraan Pembelajaran Dimasa Pandemi Corona Disease 2019 (Covid -19) secara tatap muka dan mampu mengendalikan pencegahan dan penyebaran Covid-19 di lingkungan pendidikannya.