MENGUATKAN PERAN PENTING KELUARGA DALAM PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT
(Any Tri Hendarini SP. MSi)
PENDAHULUAN
Sebuah negara bisa dikatakan kuat bukan hanya melalui pendapatan negara yang tinggi, wilayah yang luas ataupun sumber daya alam yang melimpah, namun juga berkaitan dengan sumber daya manusianya (SDM). Jika SDM yang dimiliki suatu negara berkualitas, maka ia akan memiliki produktivitas tinggi dengan kontribusi terhadap perekonomian yang tinggi pula. Sebaliknya, jika SDM (generasi penerus bangsa) yang dihasilkan lemah maka akan berpengaruh pada lemahnya produktivitas negara.
Berdasarkan riset dari Bank Dunia tahun 2018, Indeks Sumber Daya Manusia (Human Capital Index/HCI) Indonesia berada pada peringkat 87 dari 157 negara. Nilai HCI Indonesia adalah 0,53 tertinggal dari beberapa negara Asia Tenggara. HCI pada dasarnya adalah ukuran bagaimana kondisi pengetahuan, ketrampilan dan kesehatan untuk dapat mendukung produktivitas SDM. Bank Dunia melaporkan Indeks Sumber Daya Manusia Indonesia pada 2020 sebesar 0,54, naik dari 0,53 pada tahun 2018. Hal ini sebagaimana hasil laporan The Human Capital Index (HCI) 2020 Update: The Human Capital in the Time of Covid-19 dari Bank Dunia.
HCI merupakan salah satu program Bank Dunia yang didesain untuk menjelaskan bagaimana kondisi kesehatan dan pendidikan dapat mendukung produktivitas generasi yang akan datang. HCI mengkombinasikan komponen-komponen probabilitas hidup hingga usia lima tahun (survival), kualitas dan kuantitas pendidikan, dan kesehatan termasuk isu stunting dan obesitas. Komponen tersebut merupakan bagian utama dari pengukuran produktivitas tenaga kerja di masa depan dari anak yang dilahirkan saat ini.
Secara lebih detail, komponen survival meningkat menjadi 0,98 dari sebelumnya 0,97, sedangkan kualitas pendidikan sebesar 395. Pada sisi lain, durasi waktu sekolah anak Indonesia berada pada 7,8, turun dari sebelumnya 7,9. Untuk komponen kesehatan, terdapat kenaikan yang cukup signifikan, dari 0,66 menjadi 0,72. Angka ini menggambarkan terjadinya kenaikan jumlah anak yang tidak mengalami stunting dan mengalami keterbatasan kognitif dan fisiknya. Skor HCI 2020 diolah berdasarkan data baru dan diperluas untuk masing-masing komponennya hingga Maret 2020. Dengan demikian, laporan tersebut belum memperhitungkan dampak covid-19 pada Sumber Daya Manusia (SDM).
Anak yang menderita Stunting, cenderung memiliki pertumbuhan fisik dan mental yang lambat. Kelambatan dalam perkembangan memicu terjadinya risiko penyakit kronis yang diderita. Tak hanya itu, anak penderita Stunting juga memiliki kelambatan dalam berpikir dibanding mereka yang normal. Nah, hal tersebutlah yang pada akhirnya bermuara pada rendahnya produktivitas.
Indonesia gawat Stunting. Beberapa artikel menyatakan bahwa banyak terjadi kasus kekerdilan pada anak di negeri ini. Bahkan WHO menginformasikan kalau Indonesia berada diurutan ke-5. Permasalahan yang harus segera diatasi terkait gizi generasi muda dan anak anak Indonesia adalah Stunting dan Obesitas. Hal ini diungkapkan oleh Kementerian Kesehatan pada peringatan Hari Gizi Nasional 25 Januari 2022 yang lalu dengan tema “Aksi Bersama Cegah Stunting dan Obesitas”.
PREVALENSI STUNTING DAN OBESITAS DI INDONESIA
Di Indonesia berdasarkan survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 menyebutkan prevalensi stunting sebesar 24,4%. Angka ini masih jauh dari angka prevalensi yang ditargetkan dalam RPJMN 2020-2024, yakni 14%. Sementara itu, berdasarkan Riskesdas 2018 prevalensi obesitas pada Balita sebanyak 3,8% dan obesitas usia 18 tahun ke atas sebesar 21,8%. Target angka obesitas di 2024 tetap sama 21,8%, upaya diarahkan untuk mempertahankan obesitas tidak naik. Ini adalah upaya yang sangat besar dan cukup sulit.
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak menjadi terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi dapat terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah anak lahir, tetapi baru nampak setelah anak berusia 2 tahun, di mana keadaan gizi ibu dan anak merupakan faktor penting dari pertumbuhan anak.
Periode 0-24 bulan usia anak merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan sehingga disebut dengan periode emas. Periode ini merupakan periode yang sensitif karena akibat yang ditimbulkan terhadap bayi masa ini bersifat permanen, tidak dapat dikoreksi. Diperlukan pemenuhan gizi adekuat usia ini. Mengingat dampak yang ditimbulkan masalah gizi ini dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Jangka panjang akibat dapat menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, dan menurunnya kekebalan tubuh (Branca F, Ferrari M, 2002; Black dkk, 2008).
Obesitas merupakan penumpukan lemak yang berlebihan akibat ketidakseimbangan asupan energi (energy intake) dengan energi yang digunakan (energy expenditure) dalam waktu lama. (WHO,2000).
Menurut survey Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 340 juta anak dan remaja yang berusia 5-19 tahun mengalami kelebihan berat badan atau obesitas pada tahun 2016 (WHO,2020). Hal tersebut penting untuk diperhatikan mengingat obesitas mempunyai risiko morbiditas tinggi yang pada akhirnya akan dapat pula meningkatkan mortalitas (Faizah Z. 2004 dalam Septiana & Irwanto, 2018).
Obesitas pada masa anak-anak dan remaja berhubungan dengan obesitas pada usia dewasa. Sekitar 30% perempuan dan 10% laki-laki memiliki risiko obesitas saat masa dewasanya (M Jorge, et al. 2006 dalam Suandana & Sidiartha, 2015).
UPAYA SOLUSI OLEH PEMERINTAH
Melihat akibat Stunting dan Obesitas, baik jangka Panjang maupun jangka pendek, maka menjadi sangat penting untuk mencari solusi yang tepat dan aplikatif.
Bahkan hingga kini, sudah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengentaskan masalah Stunting dan Obesitas ini.
Upaya pemerintah dalam penanganan Stunting di Indonesia antara lain melalui Intervensi Gizi Spesifik dan Gizi Sensitif. Intervensi Gizi Spesifik dilakukan oleh tenaga Kesehatan profesional dan memiliki kontribusi sekitar 30 % dalam pencegahan Stunting. Sementara intervensi melalui gizi sensitive dilakukan melalui masyarakat umum termasuk keluarga. Dampak intervensi ini lebih bersifat jangka Panjang dan memiliki kontribusi 70 % dalam upaya pencegahan Stunting.
Kementerian Kesehatan melakukan intervensi spesifik untuk melaksanakan Penerapan Gizi Seimbang.
Dalam intervensi spesifik ada 6 intervensi yang dilakukan yaitu pertama promosi dan konseling pemberian makan bayi dan anak (PMBA), kedua promosi dan konseling menyusui, ketiga pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak, keempat pemberian suplemen tablet tambah darah (TTD) bagi ibu hamil dan remaja serta pemberian vitamin A, kelima penanganan masalah gizi dan pemberian makanan tambahan, keenam tatalaksana gizi buruk.
Upaya perbaikan gizi lebih diarahkan pada gizi seimbang sebagai solusi menurunkan stunting dan mencegah angka obesitas naik. Gizi seimbang bermakna luas berlaku pada semua kelompok umur. Penerapan gizi seimbang dilakukan dengan mengkonsumsi aneka ragam makanan, membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat, mempertahankan berat badan normal, dan melakukan aktivitas fisik di semua kelompok umur.
Intervensi spesifik memang menjadi hal penting untuk dilakukan dan proporsi anggaran untuk intervensi spesifik juga perlu ditingkatkan. Presiden menargetkan kepada BKKBN sebagai leading sector penanganan stunting nasional dan Kementrian dan Lembaga terkait. Kemenkes juga menargetkan agar bisa menurunkan angka stunting 3 persen setiap tahunnya hingga 2024.
Selain Intervensi Spesifik, maka intervensi sensitif perlu dilakukan dan dikuatkan karena pengaruhnya cukup besar, yakni mencapai 70 persen, Intervensi Sensitif diantaranya adalah faktor seperti Peran Keluarga dengan lingkungan bersih, air bersih, Peran kesehatan masyarakat dan Pendidikan. Berbagai upaya tersebut ternyata masih belum memberikan hasil yang signifikan dalam menurunkan prevalensi Stunting dan Obesitas. Peran keluarga selama ini,sepertinya belum terlalu dilibatkan secara optimal.
PERAN KELUARGA DALAM PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT
Keluarga memiliki peran krusial untuk pencegahan dan penanganan masalah stunting dan Obesitas. Keluarga berperan penting mencegah stunting dan Obesitas pada setiap fase kehidupan. Mulai dari janin dalam kandungan, bayi, balita, remaja, menikah, hamil, dan seterusnya. Pencegahan stunting penting dilakukan pada masa emas, yaitu 1000 pertama kehidupan. Meliputi masa anak dalam kandungan hingga anak berusia 2 tahun. Peran keluarga pun sangat penting di fase ini.
Guru Besar Ilmu Gizi FEMA IPB Prof Dr. Hardiansyah mengatakan untuk bisa mencegah secara dini baik itu stunting maupun obesitas, perlu memahami bahwa kedua masalah tersebut harus segera dicegah. Dalam hal ini ibu memiliki peran penting dalam menentukan makanan pada saat hamil dan pemberian gizi serta pola asuh pada anak setelah lahir.
Calon ibu hendaknya melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum hamil dan rutin melakukan pemeriksaan saat hamil. Untuk mencegah stunting sejak awal adalah jangan sampai penambahan berat badan ibu hamil tidak mencukupi. Jadi penambahan berat badan ibu hamil itu adalah faktor utama.
Ketika bayi lahir, lanjutnya, yang harus diperhatikan ibu adalah berat badan bayi minimal di atas 2,5 kg dengan panjang badan di atas 47 cm. Seorang ibu juga wajib memberikan ASI eksklusif yaitu diberikan sampai 6 bulan. Bila bayi tidak diberikan ASI eksklusif dan pernah diare berkali-kali, maka hal itu sudah pertanda akan terjadi gangguan stunting, dan harus segera diatasi.
Keluarga juga wajib memiliki kesadaran dan pengetahuan yang baik mengenai bagaimana mendapatkan dan memberikan nutrisi pada anak. Nutrisi tidak harus mahal, yang terpenting adalah kualitasnya. Beliau menyebut ada pangan yang terbukti mencegah stunting saat ibu hamil yaitu susu, telur, ikan, pangan hewani, dan lauk-pauk. Kemudian pangan yang terbukti mencegah stunting setelah bayi lahir adalah ASI eksklusif, susu pertumbuhan, telur, ikan, pangan hewani, lauk pauk, dan berbagai MP ASI diperkaya gizi.
Masih menurut Prof. Hardinsyah, Obesitas bukan hanya disebabkan karena kurang aktivitas fisik dan makanan, tapi banyak penyebabnya. Ia menyebutkan kalau penyebab Obesitas pada orang dewasa atau remaja bisa karena stres yang menimbulkan inflamasi, inflamasi menimbulkan penumpukan lemak. Selain itu kurang tidur atau kelebihan tidur juga bisa meningkatkan hormon ghrelin yang membuat pembawaannya lapar.
Selain parenting atau pola pengasuhan yang baik, diperlukan juga rangsangan psikososial, meliputi simulasi yang dilakukan orang tua pada bayi dan anak. Kebersihan dan sanitasi yang baik juga menjadi faktor penting dalam mendukung tumbuh kembang optimal pada anak.
Kesimpulan
Meskipun kolaborasi multi-stakeholders diperlukan untuk menyukseskan pencegahan stunting di Indonesia, keluarga dapat memberikan kontribusi penting dengan menerapkan praktik dan intervensi terbaik sedini mungkin. Pendidikan berlaku untuk ibu dan ayah, saat mereka memulai perjalanan panjang pengasuhan dan dukungan. Selain itu, keluarga juga harus siap menyadari pentingnya akses yang tepat ke fasilitas kesehatan dan nutrisi pada saat usia kehamilan.