BEKASIMEDIA.COM – Barisan Rakyat (Barak) mengkritik keras kinerja 100 hari Wali Kota Bekasi yang dinilai belum menyentuh akar persoalan masyarakat kecil. Dalam kegiatan bertajuk “Pembangunan Kota Bekasi: Antara Janji Kemajuan dan Bayang-Bayang Penindasan”, Barak menyoroti praktik penggusuran di bantaran kali yang dinilai tidak adil dan berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Obrolan Rakyat ini digelar di Warmindo Abah Iyam, Jalan Dewi Sartika, Margahayu, Bekasi Timur, dan dihadiri berbagai organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan, seperti GMNI Kota Bekasi, Gerakan Pemuda Marhaen, AKMI, Formasi, FKOD, Senat FISIP UNISMA, Formabes, GM Grib, Barisan Muda Kota Bekasi, HMI FISIP, serta Titah Rakyat.
Ketua Barisan Rakyat (Barak), Ahmad Syahbana, menyatakan keprihatinannya atas kebijakan penggusuran yang tengah berlangsung. Ia menilai Wali Kota Bekasi belum menghadirkan solusi konkret bagi warga yang terdampak, khususnya mereka yang tinggal di atas tanah milik pemerintah dan Perum Jasa Tirta II (PJT II).
“Wali Kota Bekasi harus memikirkan nasib warga yang tinggal di lahan PJT II. Penggusuran ini membuat mereka kehilangan penghidupan dan berisiko meningkatkan angka kriminalitas,” ujar Ahmad Syahbana, Senin (23/6/2025).
Ahmad juga menyinggung dugaan tebang pilih dalam penertiban. Ia menyebut bangunan besar seperti apartemen dan pergudangan di atas tanah PJT II tetap berdiri, sementara warga kecil digusur tanpa relokasi yang layak.
“Jangan berani hanya ke warga lemah. Kalau memang mau ditertibkan, semua harus ditertibkan, termasuk kapital besar. Jangan pilih kasih,” tegasnya.
Menurutnya, jargon “Bekasi Keren” justru menjadi ironi bila penataan kota dilakukan tanpa empati dan solusi kemanusiaan.
“Bekasi tidak akan keren jika masih ada penindasan terhadap pedagang kecil. Ini adalah cara-cara barbar—menggusur tanpa relokasi dan kepastian hidup,” lanjut Ahmad.
Ketua GMNI Kota Bekasi, Ebby, juga menyatakan pihaknya tengah melakukan advokasi bagi para pedagang terdampak, khususnya yang berada di sepanjang Kalimalang dekat UNISMA.
“Kami telah mengajukan aduan ke Ombudsman RI. Pemerintah Kota Bekasi harus mendengar jeritan rakyat kecil yang butuh hidup. Kebijakan ini kami nilai fatal dan berpotensi memperburuk ekonomi kerakyatan,” ujar Ebby.