BEKASIMEDIA.COM – Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP) dan Serikat Pekerja Pembangkit Jawa Bali (SP PJB), Kamis (27/8/2020) kemarin mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengajukan Judicial Review UU No 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (SDA). Pengajuan Materiil Gugatan telah diterima MK (NO.2017/PAN.MK/VIII/2020). Tujuan dari upaya ini adalah agar tarif listrik tetap terjangkau masyarakat dengan memaksimalkan penggunaan sumber daya air.
Sekretaris Jenderal PPIP, Andy Wijaya memimpin sendiri penyerahan gugatan ini. Ia mengatakan bahwa tindakan ini merupakan manifestasi yang sejalan dengan doktrin res communes dimana air merupakan milik bersama/publik rakyat sehingga penguasaan negara dalam bentuk pengaturan, pengelolaan, pengawasan dan pengurusan atas air dan sumber daya air harus mengedepankan kepentingan rakyat, dalam hal ini menghasilkan listrik yang dimanfaatkan rakyat dengan tarif terjangkau.
Selain itu, kata Andy, Sumber Daya Air harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. “Untuk itu, negara menjamin hak rakyat atas air guna memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari bagi kehidupan yang sehat dan bersih dengan jumlah yang cukup, kualitas yang baik, aman, terjaga keberlangsungannya, dan terjangkau,” katanya kepada bekasimedia.com, Jumat (28/8/2020).
“Air secara mutlak dianggap sebagai kebutuhan utama setiap makhluk hidup, dimana tanpa mengkonsumsi air niscaya tiada kehidupan, maka tak ubahnya air dalam kontek kekinian. Energi listrik bisa dikatakan hampir berfungsi demikian, setidaknya menjadikan manusia kita saat ini bergantung akan kesediaan listrik.”
Salah satu bentuk penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dilakukan oleh BUMN Ketenagalistrikan (PT. PLN (Persero) bersama dengan PT. Indonesia Power dan PT. Pembangkitan Jawa Bali dengan menghasilkan energi listrik melalui pemanfaatan air yang digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dilakukan dengan membuat berbagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang sampai saat ini baru dimanfaatkan sebesar 6,4 % (enam koma empat persen) dari potensi potensi energi dari sumber air hingga 75 Giga Watt yang ada di republik ini.
Andy menjelaskan, dalam berbagai literatur, PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) bisa dipastikan merupakan salah satu energi baru terbarukan yang ramah lingkungan dan murah. Namun efisiensi produksi yang dapat dilakukan oleh PLTA akan menjadi sia-sia karena UU Nomor 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air mengaktifkan kembali klausula biaya jasa Pengelolaan sumber Daya Air (BJPSDA) yang di UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air telah dinyatakan inkonstitusional keberlakuannya oleh putusan Mahkamah Konstitusi perkara 85/PUU-XII/2013 tanggal 18 februari 2015.
BJPSDA yang dibebankan kepada PLTA yang ada akan menambah beban pengeluaran dari PLTA itu sendiri sehingga biaya pokok produksi (BPP) menjadi naik dan dapat melampaui BPP sumber energi listrik lainnya diataranya PLTU yang rata-rata berdasarkan laporan statistik PLN tahun 2018 Rp. 831.46 per kwh.
Sejatinya, tahapan pengelolaan Sumber daya air sudah dilaksanakan secara mandiri oleh BUMN Ketenagalistrikan (PT. PLN (Persero)) bersama dengan PT. Indonesia Power dan PT. Pembangkitan Jawa Bali, yang terdiri dari:
- Perencanaan Pengelolaan Sumber Daya Air;
- Pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air dan pelaksanaan nonkonstruksi;
- Pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaan Sumber Daya Air; dan
- Pemantauan dan evaluasi Pengelolaan Sumber Daya Air
Pengenaan BJPSDA kepada PLTA juga menimbulkan potensi adanya penyalahgunaan kewenangan negara oleh badan hukum lain, karena BJPSDA yang dikenakan tidak 100% masuk kepada Negara. Judicial Review untuk pasal-pasal yang ada pada UU SDA dengan UUD 1945, yaitu:
“Karena pasal-pasal tersebut terutama pengenaan BJPSDA akan membuat kenaikan harga listrik dari PLTA sebagai bagian dari beban produksi yang akan membebani masyarakat karena akan dimasukan dalam harga jual listrik. Sehingga listrik akan menjadi mahal dan tidak terjangkau masyarakat,” pungkas Andy.