BEKASIMEDIA.COM – Kali Bekasi tercemar, buih-buih busa kembali terlihat memenuhi aliran kali yang membelah Kota Bekasi itu pada Kamis (24/5/2018).
Aktivis lingkungan angkat bicara terkait hal ini. Direktur Eksekutif Kawal Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Kawali) Puput TD Putra menyatakan pencemaran lingkungan hidup yang terjadi di perairan Kali Bekasi sudah mencapai pada tahap darurat dan membahayakan bagi ekosistem lingkungan.
“Dalam sebulan sudah terjadi beberapa kali, Sungai Bekasi dicemari oleh busa-busa deterjen akibat dari pembuangan limbah industri secara diam diam,” ujanya kepada bekasimedia.com, Kamis (24/5/2018).
Pihaknya juga menyatakan sudah meminta pemerintah Kota Bekasi lebih tegas melakukan penindakan dalam rangka menerapkan peraturan dan undang-undang yang berlaku.
“Sudah pasti hal tersebut sangat membahayakan dan mencemari ekosistem lingkungan, makanya perlu gerakan kolektif antar Stake holder dalam rangka pemulihan kembali lingkungan hidup di kota Bekasi,” ujarnya.
Penyebab pencemaran, menurut Puput, bisa disebabkan oleh limbah rumah tangga dan industri.
“Asumsi saya munculnya busa itu akibat limbah domestik dan industri. Kandungan detergen di sungai dalam prosesnya mengendap di dasar sungai teraduk saat sungai berarus deras (hujan) lalu timbul busa di permukaannya.”
Maka dari itu, kata Puput, hal ini perlu ditelusuri lebih dalam dan ada hasil labotarium pendukung yang menyatakan pencemaran itu benar didominasi oleh limbah detergen, “ada kekhawatiran juga hal tersebut di sebabkan oleh hal lain, misal ada pembuangan limbah secara diam-diam yang dilakukan oleh oknum atau disekitaran sini ada industri yang diam-diam membuang limbahnya ke sungai?”
Agar kejadian seperti ini tidak terus terulang, Puput menyarankan penelusuran mendalam pihak terkait. “Menurut kami salah satu solusinya harus ada instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal di titik-titik pemukiman warga dan Industri agar air limbah dapat di tampung lebih dahulu di IPAL sebelum dialiri ke sungai. Dengan IPAL, limbah diproses terlebih dahulu sebelum masuk ke sungai,” sarannya.
“Pemerintah juga harus tegas menjalankan peraturan khususnya di bidang lingkungan. Bila ditemukan ada kesengajaan/pembiaran pencemaran ini ya harus di tindak tegas.”
Limbah domestik sebagian besar mengandung detergen dari pencucian perabot dapur, kendaraan, atau air sabun dari kamar mandi kondisi seperti itu hampir terjadi di semua sungai di Indonesia, tetapi tingkat pencemaran paling tinggi terjadi di hilir sungai, makanya sering terjadi ledakan alga/planton, karena limbah detergen ini mengandung fosfat yang kemudian menjadi gizi untuk dikonsumsi oleh alga atau ganggang.
Satu unit IPAL komunal membutuhkan lahan kurang lebih minimal 100 meter persegi dan Pemerintah biasanya terkendala faktor lahan.
Menurut Puput TD Putra yang juga Aktivis WALHI, pencemaran limbah jelas membahayakan populasi ikan di sungai dan bisa mematikan mangrove di pesisir pantai Utara bila hal ini dibiarkan terus menerus.
Terakhir, Puput menyebutkan aturan hukum yang seharusnya tegak terkait pencemaran lingkungan diantaranya; UU RI No.32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, PP RI No.20 tahun 1990 tentang pengendalian pencemaran air, PP RI No. 18 tahun 1999 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), PP RI No.19 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara dan/atau perusakan laut dan PP RI no. 27 tahun 1999 tentang amdal.
“Tegakan peraturan dan berikan sangsi tegas kepada pelaku pencemaran lingkungan berdasarkan pasal 90 ayat (1) UU 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah berwenang meminta ganti rugi pada pelaku pencemaran,” tegasnya.
“Merujuk Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 13/2011, nilai ganti rugi itu dapat dihitung dari akumulasi biaya pemulihan lingkungan, karena adanya kerugian ekosistem, serta kerugian masyarakat terdampak, terutama atas aset dan kesehatan pribadi masyarakat terdampak,” pungkas Puput. (dns)